"Bos-bos kalian itu, kedua pengusaha yang paling ternama di sini, mengincar tanah saya. Mereka ingin membeli rumah ini, lalu menghancurkannya dan membangun untuk memperluas kantor mereka."
Lelaki itu mengambil sebatang rokok. Ia menyalakan ujungnya. Kembali dia berbicara.
"Kan lumayan. Bila sepetak tanah saya ini dibangun kamar-kamar hotel tinggi menjulang sampai empat puluh lantai seperti perusahaannya sekarang, coba kalian pikir, berapa untung yang akan dia dapat?"
"Belum lagi bosmu," lelaki itu menunjuk Sulepret,"Saya dengar dia ingin membangun kantor untuk anak perusahaannya yang menangani perjalanan khusus keluar negeri. Pelanggannya sudah banyak meminta. Makanya dia bersikeras membeli rumah saya."
"Kalian tahu kan, berapa untung yang kira-kira akan mereka dapat? Itu jauh lebih besar daripada harga rumah saya ini. Karena itu, saya tidak akan melepasnya semudah itu."
"Pengusaha itu pintar, tetapi kita sebagai orang desa tidak boleh kalah cerdik."
Selepas pertemuan itu, karena dia merasa kami sama-sama orang desa, dia dengan senang hati memberikan izin khusus kepada kami, untuk datang di acara pelelangan rumahnya, yang dihadiri oleh kedua bos kami dan seorang pengusaha lain.Â
Pengusaha lain itu yang entah dari mana datangnya, ia sebut-sebut berani menawar harga lebih tinggi dari kedua bos kami. Agar ada keterbukaan dan tidak ada perkelahian antarbos kami, akhirnya dia mengadakan lelang.
Dalam sebuah aula di perusahaan saya, sudah duduk lelaki itu, kedua bos kami, dan seorang pengusaha mengelilingi sebuah meja bundar. Kami memandang dari kejauhan.
"Jadi kamu berani berapa?" lelaki itu membuka lelang.
"2 M," bos saya berujar.