"Bagaimana ini, benar kamu sudah kirim?"
"Sudah sudah," kata Jamadi. Berbohong. Tumpukan amplop dan lusinan telur masih mengendap di rumahnya. Ia termasuk warga yang mulai tersentuh dengan kebaikan Surimin dan mulai muak dengan sifat licik Pak Wagiyo.Â
Untuk membalas dendam, dia masih berpura-pura menjadi tangan kanannya. Dia tidak ambil pusing meskipun orang lawan bicaranya itu, yang menemaninya membakar warung warga, masih setia pada pak Wagiyo.
Adakah orang jahat akan selalu berjaya? Suatu ketika, mereka akan dibalas dengan kejahatan pula.
Memang, penduduk desa itu berjumlah seratus tujuh puluh orang. Tetapi, yang bisa memilih hanya seratus lima puluh satu orang, terdiri dari lima puluh bapak, lima puluh ibu, dan lima puluh satu pemuda berusia di atas tujuh belas tahun. Sisanya, sembilan belas orang, masih anak sekolah dasar.
"Tinggal satu ya Bapak Ibu, harap diperhatikan," kata penghitung suara.
Hujan perlahan turun. Udara semakin dingin. Tetapi rasanya tetap saja panas. Laron-laron kian berkerumun di sekitar petromaks.
"Sulepret... Sulepret... Sulepret!!!"
"Surimin... Surimin... Surimin!!!"
Sulepret dan Surimin saling menatap tajam.
"Harap tenang, Bapak Ibu! Harap tenang! Kalau Bapak ibu masih berisik, saya tidak akan baca suara terakhir ini."