"Anak saya belum pulang ke rumah Pak. Dari kemarin sore."
Sebagai salah satu petugas keamanan di desa itu dan karena mulai terbiasa dengan peristiwa itu, Sulepret mendengarnya dengan tenang. Ibu itu orang kesepuluh yang terdata sebagai korban kehilangan.
"Tolong Pak. Tolong temukan anak saya," ibu itu tersungkur ke tanah. Dia menggenggam erat baju bermotif kotak-kotak dan celana pendek berwarna biru yang dipakai anak laki-lakinya ketika bermain keluar rumah sore kemarin. Pakaian itu dia temukan tergeletak di depan pintu rumahnya.
"Anakku, ke mana kau Nak?" suaranya lirih terdengar. Pilu sekali.
"Tenang, Bu, tenang. Kami pasti cari!" Hanya itu yang bisa Sulepret katakan. Dalam kurun waktu satu bulan, kabar yang sama terus terdengar di telinga Sulepret. Sudah lima belas anak hilang. Ada yang kakak beradik dari satu keluarga.
"Pak, Bapak harus temukan penjahat bangsat itu!" kata ibu lain pada suatu malam di pos penjagaan. Sepanjang jalan, ibu itu meraung-raung. Tangisnya membangunkan warga.
Tepat di depan ibu itu, Sulepret terdiam. Sulepret mengerjapkan mata berkali-kali, berharap matanya salah lihat.Â
Tangan ibu itu membawa sepotong tangan. Tangan anaknya itu ditemukannya juga di depan pintu rumah. Daging dan kulit di ujung potongan itu tersayat begitu kasar. Urat-uratnya menjuntai keluar. Tangan itu meneteskan darah.
Sulepret ternganga. Sulepret tidak menyangka kejahatan itu semakin keji. Betapa teganya mereka menyerang anak kecil.
"Pak, Bapak harus cari pelakunya. Anak saya Pak, anak sayaaaaaaa...," ibu itu tidak mampu melanjutkan bicaranya. Dia pingsan.
Sebenarnya, Sulepret bersama sepuluh orang warga penjaga desa sudah berkeliling setiap hari secara bergantian, saat pagi, siang, bahkan tengah malam untuk menangkap penjahat biadab itu. Setiap orang ditanyai, hampir semua rumah warga digeledahi.Â