Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden

1 Maret 2021   15:45 Diperbarui: 1 Maret 2021   20:00 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: shopee.co.id

"Anak saya belum pulang ke rumah Pak. Dari kemarin sore."

Sebagai salah satu petugas keamanan di desa itu dan karena mulai terbiasa dengan peristiwa itu, Sulepret mendengarnya dengan tenang. Ibu itu orang kesepuluh yang terdata sebagai korban kehilangan.

"Tolong Pak. Tolong temukan anak saya," ibu itu tersungkur ke tanah. Dia menggenggam erat baju bermotif kotak-kotak dan celana pendek berwarna biru yang dipakai anak laki-lakinya ketika bermain keluar rumah sore kemarin. Pakaian itu dia temukan tergeletak di depan pintu rumahnya.

"Anakku, ke mana kau Nak?" suaranya lirih terdengar. Pilu sekali.

"Tenang, Bu, tenang. Kami pasti cari!" Hanya itu yang bisa Sulepret katakan. Dalam kurun waktu satu bulan, kabar yang sama terus terdengar di telinga Sulepret. Sudah lima belas anak hilang. Ada yang kakak beradik dari satu keluarga.

"Pak, Bapak harus temukan penjahat bangsat itu!" kata ibu lain pada suatu malam di pos penjagaan. Sepanjang jalan, ibu itu meraung-raung. Tangisnya membangunkan warga.

Tepat di depan ibu itu, Sulepret terdiam. Sulepret mengerjapkan mata berkali-kali, berharap matanya salah lihat. 

Tangan ibu itu membawa sepotong tangan. Tangan anaknya itu ditemukannya juga di depan pintu rumah. Daging dan kulit di ujung potongan itu tersayat begitu kasar. Urat-uratnya menjuntai keluar. Tangan itu meneteskan darah.

Sulepret ternganga. Sulepret tidak menyangka kejahatan itu semakin keji. Betapa teganya mereka menyerang anak kecil.

"Pak, Bapak harus cari pelakunya. Anak saya Pak, anak sayaaaaaaa...," ibu itu tidak mampu melanjutkan bicaranya. Dia pingsan.

Sebenarnya, Sulepret bersama sepuluh orang warga penjaga desa sudah berkeliling setiap hari secara bergantian, saat pagi, siang, bahkan tengah malam untuk menangkap penjahat biadab itu. Setiap orang ditanyai, hampir semua rumah warga digeledahi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun