Kemarin sore saya selesai menikmati cerpen-cerpen pilihan Kompas tahun 2014, dalam buku berjudul "Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon". Terbit tahun 2015 dan telah mencapai cetakan ketiga, September 2016.
Buku ini berisi 24 cerpen pilihan juri Kompas, dengan para cerpenis di antaranya Yanusa Nugroho, Seno Gumira Ajidarma (SGA), Djenar Maesa Ayu, Putu Wijaya, dan lainnya. Khusus Yanusa dan SGA, sering sekali namanya saya temui di buku cerpen pilihan Kompas. Memang, sudah tidak diragukan kualitas karya mereka di mata para juri.
Dalam buku ini, ada pula dua penyair senior turut menyertakan cerpennya, yaitu Sapardi Djoko Damono, berjudul "Lima Cerpen Sapardi Djoko Damono", dan Joko Pinurbo, berjudul "Jalan Asu".
Kendati para pesohor ada di sana, pilihan juri untuk cerpen yang namanya diberi kehormatan menjadi judul buku jatuh kepada Faisal Oddang. Anda tahu berapa umurnya? 26 tahun. Wow, bagi saya keren sekali.
Faisal Oddang lahir di Wajo, 18 September 1994, menempuh pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin. Pernah menang penghargaan penulis muda Asia Tenggara, ASEAN Young Writers Award 2014. Bila melihat latar belakang pendidikannya, saya pastikan beliau suka dan mau tidak mau harus banyak membaca.
Terbuktilah, hasilnya sangat berkualitas. Cerpennya berjudul "Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon" yang mengangkat keunikan budaya Toraja, berhasil meminang hati juri. Dan saya, pembaca awam.
Beliau mengangkat kebiasaan rakyat Toraja mengubur bayi yang sudah meninggal di dalam pohon. Dalam pohon itu, dilukiskanlah interaksi antarruh bayi, mengungkit peristiwa mengapa mereka bisa mati. Ada kenyataan pahit di sana. Sang ayah mencuri mayat bayinya untuk sejumlah uang.
Berhubung budaya setempat, tentu ada kosakata dalam bahasa Toraja yang saya pelajari. Seperti:
Tarra : pohon besar berdiameter hingga 3 meter yang dijadikan tempat mengubur bayi di Toraja
Passiliran : kuburan bayi di Toraja, dibuat di pohon tarra.
Indo : ibu
Eran : tangga
Tokapua : golongan bangsawan, dan lainnya
Di sisi lain, ada juga cerpen yang menarik perhatian saya. "Darah Pembasuh Luka" karya Made Adnyana Ole, menceritakan seorang wanita yang terluka di bagian lutut, bernanah, hingga berborok.
Luka itu hanya bisa disembuhkan--menurut kepercayaan dukun--oleh darah manusia yang terluka atau mati tidak wajar. Anda tahu darah siapa yang dipakai? Darah ayah dan suaminya. Mereka meninggal.
Satu lagi yang unik, ada "Menunda-nunda Mati", karya Gde Aryantha Soethama. Berbicara tentang dunia gaib, pertarungan alam ruh yang mengerikan dan membuat korbannya hampir mati.
Lucunya, ketika ruh mereka bertarung di udara, raga yang tertinggal sangat lemah dan gampang dibunuh. Akhirnya, korban itu tidak jadi mati, karena istrinya membunuh raga musuhnya yang tidak terjaga aman. Imajinasinya keren.
Cerpen lain sila Anda baca sendiri. Saya jamin sangat berkualitas. Cocok menemani liburan akhir tahun bagi Anda yang suka membaca. Terlebih terkait budaya, mitos, dongeng, ada di sini. Tidak hanya cerpen cinta yang entah kenapa asyik dinikmati.
Cinta memang menyimpan banyak misteri.
...
Jakarta
27 Desember 2020
Sang Babu RakyatÂ