Lanjutannya, sekonyong-konyong banyak muncul penjual masker dadakan dan hand sanitizer (pembersih tangan yang mengandung alcohol) online, ibarat pasar malam yang hanya minggu tertentu diadakan di kampung-kampung. Ya, tidak ada salah dengan mereka, mereka hanya memanfaatkan adanya peluang usaha dan kesempatan, sekaligus membantu mereka yang kesusahan untuk mendapatkan masker.
Sungguh patut diakui kecerdikan mereka dalam mengambil peluang di tengah kondisi yang sedang booming. Tapi, hal ini tidak berlaku untuk para penimbun masker. Sepertinya, tidak ada pribadi yang bertentangan pendapat dengan penulis untuk sepakat menyatakan bahwa mereka, para penimbun masker, adalah penjahat yang tidak berperikemanusiaan. Pastinya, ini di luar pendapat mereka.
Untuk mencegah lebih tenarnya dia, yang diketahui bersama bahwa dia cepat berpindah dari orang ke orang, pemerintah sebagai pihak yang berwenang telah mengambil beberapa keputusan yang harus dijalankan rakyatnya, salah satunya melarang orang bepergian keluar rumah.
Bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang hobi jalan-jalan atau yang lebih dikenal dengan wisatawan, larangan untuk keluar dari rumah yang dicetuskan pemerintah, adalah sebuah siksaan.
Tidak adanya kesempatan baginya untuk membeli tiket transportasi, menikmati pemandangan alam dan obyek wisata lainnya, serta berbelanja oleh-oleh khas daerah wisata yang dia kunjungi, adalah sama dengan kepedihan seseorang narapidana yang hanya bisa beraktivitas di dalam sel dan di lingkungan sekitar penjara. Hanya bedanya, keadaan yang dialami wisatawan tidak oleh sebab perbuatan kesalahannya, sementara narapidana memang pantas menikmatinya.
Di lain pihak, bagi orang-orang yang malas keluar rumah, kondisi sekarang ini adalah seperti di dalam surga. Tidak perlunya pengeluaran uang untuk bepergian semisal hanya sekedar nongkrong bersama dengan teman-teman di cafe adalah wajar bagi mereka, ya, karena mereka memang tidak ingin dan tidak terbiasa.
Menikmati kasur yang empuk bersama dengan sebuah smartphone atau bahkan bisa beberapa, dengan koneksi internet yang lancar sudah cukup untuk memuaskan keinginan mereka. Apalagi ditambah dengan segala kepraktisan untuk memesan semua kebutuhan dengan aplikasi yang telah tersedia lengkap di smartphone, atau yang sekarang tenar dengan istilah "tinggal klik", sungguh mujarab untuk menyempurnakan kebahagiaan mereka. Inilah mereka, para kaum rebahan.
Di sisi lain, penulis sungguh terheran dengan tanggapan masyarakat yang kesal ketika melihat adanya ketidakpatuhan sebagian masyarakat untuk tidak berkerumun dan tetap berada diam di dalam rumah.
Kekesalan itu sebetulnya tidak perlu, karena bukankah sudah terdengar dari zaman dulu, dari zaman nenek moyang manusia, Adam dan Hawa, mereka juga tidak patuh kepada perintah Tuhan dengan tetap memakan buah yang sudah Tuhan larang untuk dimakan?