Mohon tunggu...
Husni Fatahillah Siregar
Husni Fatahillah Siregar Mohon Tunggu... Lainnya - Content Writer

Corporate Communication - Tennis Addict

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Kehidupan Itu Bernama Ibu

16 November 2020   13:29 Diperbarui: 16 November 2020   13:49 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dok. Clipart-library)


Tiga puluh lima tahun silam tersebutlah seorang wanita muda dari pulau kecil di timur Indonesia yang divonis oleh dokter mengidap penyakit diabetes mellitus. Bukanlah hal yang mudah untuk dilalui oleh wanita tersebut, mengingat saat itu selain fokus untuk memulai pengobatan ia juga harus tetap fokus mengasuh dan mendidik enam buah hatinya yang sedang dalam masa tumbuh kembang. Dan juga tentunya menjalankan peran sebagai istri dalam mendampingi suami yang tugasnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, wanita tersebut tetap sabar, tegar dan kuat melewati hari-harinya yang sudah tidak bisa dipisahkan dari bermacam jenis obat-obatan. Rumah sakit dan dokter bukanlah hal yang asing baginya, karena seringnya ia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk pengobatannya. Hingga akhirnya di bulan Agustus tahun 2020 ia mengalami rasa sakit yang luar biasa. Rasa sakit yang akhirnya membuat sosok yang selalu tegar dan kuat itu seolah mengibarkan bendera putih dan "menyerah". Dan pada 5 Oktober 2020, wanita tersebut kembali menghadap Sang Khalik. Sosok wanita tegar dan kuat itu adalah ibu saya.

Bagi saya yang melihat bagaimana perjuangan ibu melawan penyakitnya sejak kecil hingga akhir hayatnya, ibu adalah guru kehidupan. Ibu mengajarkan pada saya tentang arti sebenarnya kata sabar. Tiga puluh lima tahun ibu berjuang melawan diabetes tanpa komplikasi penyakit apapun dan tanpa tindakan amputasi hingga akhir hayatnya, menunjukkan kepada saya betapa sabarnya ibu dalam menerima takdir yang digariskan dalam hidupnya. Ibu begitu telaten merawat penyakitnya.

Ibu mengajarkan pada saya bahwa sabar itu bukanlah hasil tetapi sebuah proses. Proses yang akan selalu dilalui dalam kehidupan manusia. Dan ibu selalu menekankan bahwa proses menjadi sabar itu sangat tidak enak, karena akan banyak godaan dan tantangan yang akan dihadapi ketika kita berupaya untuk menjadi pribadi yang sabar. Ibu selalu menyampaikan bahwa sabar bukan berarti kita pasrah akan keadaan, namun harus tetap berjuang. Bermacam obat pahit yang harus ia telan selama puluhan tahun, adalah bentuk perjuangannya dalam melewati ujian bernama kesabaran. 

Dari ibu saya juga belajar tentang rasa syukur. Ibu mengajarkan kepada saya untuk selalu mensyukuri setiap karunia yang Allah berikan, baik itu sehat maupun sakit. Saya tidak pernah melihat ibu mengeluh akan kondisi penyakitnya, walaupun ibu harus menahan diri untuk tidak makan minum sembarangan, dia tetap menjalani dengan penuh rasa syukur. Tidak ada satu hari pun ia lalui dengan berkeluh kesah akan pahitnya obat-obatan yang harus ia minum. Ibu sering berkata, dalam rasa sakitnya tetap ada banyak nikmat Allah yang ia rasakan, dan nikmat itu tidak sebanding dengan penyakit yang diderita.

Satu nilai kehidupan yang begitu kuat dicontohkan ibu saya dalam kehidupan sehari-harinya adalah tentang berbagi kepada sesama. Ibu selalu menanamkan pada anak-anaknya untuk selalu berbagi, karena dengan berbagi akan tumbuh rasa syukur yang lebih mendalam. Dalam kondisi keuangan yang serba minim pun ibu selalu menekankan kepada anak-anaknya untuk tetap berbagi kepada orang yang kesusahan.

Ibu mengatakan rasa syukur itu bukan hanya dalam ucapan tapi harus dibarengi dengan tindakan nyata. Ibu selalu berkata jangan pernah takut untuk menjadi miskin dengan berbagi, karena ketika kita berbagi apa yang kita berikan tidak akan habis, namun akan ditambah dengan cara yang tidak kita duga. Kondisi sulit yang kita hadapi janganlah membuat kita untuk menjadi tidak peduli dengan kesulitan orang lain di sekitar kita. Ada orang-orang yang lebih tidak beruntung kehidupannya dibandingkan kita.

Tiga puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dilalui seseorang ketika mengidap penyakit diabetes yang dianggap sebagai salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Ibu saya bukan hanya sekedar pejuang tangguh, namun juga guru kehidupan yang memberi teladan pada saya dalam menghadapi dan menyikapi suratan takdir. Sosok ibu dengan kekuatan dan ketegarannya yang membentuk karakter saya saat ini. Terlahir sebagai anak bungsu, ibu selalu menyampaikan bahwa saya harus menjadi pribadi yang kuat dan tangguh yang tidak mudah bergantung pada orang lain namun bisa berdiri sendiri dengan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki, tentunya dengan tetap berdoa dan meminta kemudahan pada Allah Sang Maha Kuasa.  

Sebagai anak rasanya belum banyak yang dapat saya lakukan untuk menunjukkan bakti saya pada ibu. Kini hanya untaian doa yang bisa saya panjatkan sebagai tanda bakti saya pada ibu. Jika diberi kesempatan untuk dapat kembali bertemu dengan ibu, saya ingin mengucapkan:

"Mama, terima kasih atas semua pengorbanan yang telah mama lakukan. Terima kasih untuk kasih dan sayang mama yang tidak pernah padam. Dan, terima kasih untuk setiap untaian doa yang mama panjatkan. Kata cinta tak pernah terucap dari anakmu. Namun, aku ingin mama tahu, dalam setiap doaku selalu ada nama mama".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun