Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kesalahan Berpikir Kelas Pejabat di Indonesia

11 November 2020   19:21 Diperbarui: 13 November 2020   12:59 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minuman keras. (Foto: KOMPAS IMAGES/Kristianto Purnomo)

Kenapa Illiza menyajikan data 2014-2016? Sedangkan pendapatan dari minuman beralkohol justru meningkat pada tahun 2020, yakni sebesar 6,8% lebih besar dari bulan juni tahun 2019. Kepala Kanwil DJBC Jateng DIY, Padmoyo Tri Wikanto mengatakan, "Di tengah pandemi justru ada fenomena meningkatnya pemasukan dari MMEA, bahkan capaiannya 6,8 persen lebih tinggi dari Juni tahun lalu," dilansir dari tribunnews.

Sedangkan penerimaan APBN dari minuman beralkohol tumbuh melambat, hal ini disebabkan oleh efek pendemi yang membuat sebagian besar tempat hiburan malam ditutup. 

Berdasarkan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) periode Agustus 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan, perlambatan pertumbuhan produksi MMEA dalam negeri disebabkan penurunan produksi sejak bulan April, dan penutupan kawasan pariwisata, sehingga menekan konsumsi MMEA dalam negeri.

Mari kita bermain logika, jika pendapatan dari minuman beralkohol dinilai tidak sebanding dengan risiko kematian, lantas, negara akan menerima pemasukan dari mana lagi jika minuman beralkohol dilarang? 

In case, yang ada malahan negara akan mengalami kekurangan pemasukan untuk keperluan RAPBN tahun 2021. Jika kasusnya demikian, kenapa pajak dari minuman beralkohol tidak dinaikkan saja? 

Maka dengan begitu, harga jual akan semakin mahal dan masyarakat kelas menengah ke bawah akan berkurang ketergantungannya terhadap minuman beralkohol.

Itulah yang Saya sayangkan dari kondisi pejabat negara ini, yang juga disebabkan oleh praktek politik praktis serta politik identitas. Semua orang yang mempunyai uang banyak, bisa menjadi pejabat negara melalui praktek politik praktis. Tapi soal kapasitas? Nol besar.

Berbicara mengenai pemasukan dari minuman beralkohol, Saya jadi ingat dengan keputusan dari Anies Baswedan yang ngotot untuk melepas saham DLTA yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta. 

Sejak awal rencana pelepasan saham itu, Saya sudah melontarkan kritik tajam berupa analisis jika Pemprov DKI Jakarta melepas saham DLTA, karena analisis yang Saya bawa mencantumkan pergerakan harga saham DLTA (data mingguan) selama tahun 2016-2017. 

Apa yang Saya lihat dari pergerakan harga saham itu? Saham DLTA mengalami tren positif, walau ada beberapa kali mengalami penurunan karena iklim politik di Jakarta saat itu.

Maka sungguh sangat disayangkan, jika DPR meloloskan RUU tentang Pelarangan Minuman Beralkohol. Negara ini sedang mengalami resesi, jika salah satu sektor pendapatan negara diputus, perekonomian negara justru akan semakin melemah dan akan menyebabkan efek domino.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun