Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paradoks Tentang Seks

12 Oktober 2019   15:51 Diperbarui: 12 Oktober 2019   15:51 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Berbicara mengenai seks tidak akan pernah ada habisnya, seperti halnya ketika kita berbicara mengenai politik. Namun bedanya, jika politik akan menimbulkan perdebatan. Tapi jika seks? akan meningkatkan libido.

Mungkin bagi  sebagian besar orang akan menganggap seks adalah hal yang tabu. Terlebih, dengan iklim yang ada di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat ketimuran. Bayangkan saja, anak-anak usia dini sangat dihindarkan dari hal-hal yang berbau seks. Padahal, pendidikan tentang seks atau pengenalan seks sejak dini sangat diperlukan oleh generasi penerus bangsa agar terhindar ataupun bisa melindungi organ vital mereka dari manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. 

Yang saya tekankan di sini yaitu kemirisan akan banyaknya kaus pelecehan seksual yang diterima oleh anak-anak di bawah umur. Sudah banyak sekali berita-berita dari dalam negeri dan luar negeri tentang kejahatan asusila berupa sodomi dan pelecehan seksual. Pelakunya pun, beragam, dari mulai mereka yang tidak bisa mengontrol hasrat, orang-orang dengan segala tingkat pendidikan, tua dan muda, hingga agamawan. 

Semua pelaku kejahatan dilatar-belakangi oleh ketidak-berdayaan dalam mengontrol nafsu kebutuhan biologis. Korbannya pun, beragam. Dari mulai anak laki-laki, anak perempuan, remaja, hingga lansia. Pola random yang seakan membentuk sebuah rantai makanan ini akan terus berulang, terus dan terus. Hemat saya, salah satu pencegahan yang dapat dilakukan oleh para orang tua ataupun pemerintah adalah dengan memberikan edukasi tentang seks sejak dini.

 Anak-anak harus diberitahu bagian mana saja yang merupakan organ intim, alat vital. Anak-anak perlu diberitahu bahwa organ-organ tersebut merupakan salah satu harta berharga mereka yang wajib dilindungi serta dipertahankan. Anak-anak juga perlu diajak diskusi perhal terkait sehingga ketika anak-anak mendapatkan pelecehan seksual, mereka akan langsung bercerita kepada orang tuanya.

Nah, berbicara masalah seks yang dianggap tabu ini sebenarnya menarik sekaligus menegangkan. Karena saya sendiri sudah beberapa kali memposting tulisan perihal seks dan pelecehan seksual di akun media sosial saya. Tanggapannya pun beragam. Mulai dari apresiasi, hingga cacian. 

Cacian yang saya dapatkan ini, saya dapatkan ketika saya menulis sebuah esai yang berjudul "Seks dan Agamawan". Padahal, hal yang saya bicarakan begitu umum terdengar dan memang sebuah realita yang harus diterima, ketika agamawan yang seharusnya menjadi teladan yang baik, justru melakukan tindakan asusila. Sudah banyak pemberitaan mengenai seorang pemuka agama yang mencabuli anak didiknya hingga, seorang ulama yang "main ranjang" dengan seorang Pekerja Seks Komersial yang videonya sempat viral beberapa bulan yang lalu.

Jika kita berbicara mengenai seks, tidak ada yang suci, semuanya penuh dosa (jika dilihat dari kacamata agama). Kita biasa mengobrol dengan teman sebaya di sebuah kedai kopi lalu membahas masalah seks, bagaimana dengan bentuk tubuh wanita yang ada di seberang jalan, berapa ukuran payudaranya, seperti apa warna kulitnya, seharum apa bau badannya, dan lain sebagainya. Kita bisa berbicara mengenai itu semua secara terbuka. 

Sedangkan ketika kita tengah berada di sebuah kajian keagamaan dan membahas masalah zina mata, tentu pikiran kita akan berbanding terbalik dengan yang kita di kedai kopi. Lalu jika telah selesai kajian, berkumpul bersama teman sebaya, ngobrol mengenai seks lagi, kesucian itu hanyalah sementara, iblislah yang kembali menguasai. Ini fakta, ini realita, ini memang terjadi, dan saya, melihat serta mendengarnya secara langsung.

Tetangga saya orangnya alim, sholat lima waktu, sering ngaji, sering ikut kajian, pokoknya serba religius. Tetapi ketika bertemu dengan saya yang tengah mengobrol dengan seorang mbak yang sedang menjaga conter pulsa, obrolan tetangga saya itu sudah tidak lagi religius, mengarah ke hal yang berbau cabul, walau masih berpakaian gamis lengkap dengan peci yang Ia kenakan. Saya berbicara tentang realita yang terjadi di masyarakat. 

Dan, saya yakin orang yang seperti tetangga saya itu juga ada banyak. Bahkan seingat saya, ada tiga orang yang serupa tapi tak sama. Tak sama yang saya maksud di sini yaitu masalah fisik dan materi. Ketiganya sama-sama religius, tapi bedanya, mereka ada yang ganteng, lumayan ganteng, dan tidak ganteng. Mereka juga ada yang kaya, lumayan kaya, dan tidak kaya. Perkara seks bukan hanya milik rakyat jelata seperti saya, tapi juga milik mereka yang mempunyai kekuasaan. Politikus dan wanita penghibur kerap menghiasi berita di Indonesia, isu-isu seputar mereka menjadi konsumsi publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun