Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita tentang Kamu

8 Oktober 2019   03:38 Diperbarui: 8 Oktober 2019   03:50 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Ada malam yang diharapkan tak pernah berakhir. Ada malam yang diharapkan tak pernah berubah. Begitu pun aku, manisku. Aku selalu mengharapkanmu hadir di mimpiku, menemaniku disepanjang lelap abadiku. Bersamamu aku merasa nyaman. Bersamamu aku merasa hidup. Dan bersamamu aku mulai mengerti, apa itu kebahagiaan.

Aku menuliskan puisi untukmu, sayangku. Bait-bait yang indah. Diksi-diksi yang menawan. Yang aku selipkan sedikit rindu, agar manis asa yang aku bawa. Aku pelihara kembang-kembang Edelweis, yang aku curi di saat Tuhan tengah tertidur pulas. Kembang-kembang itu aku rawat, aku persembahkan ketika jiwamu telah lelah menghadapi dunia.

Aku ciptakan nada-nada yang indah. Petikan-petikan yang mampu membius seisi dunia. Aku persembahkan itu hanya kepadamu, manisku. Yang selama ini dengan tulus dan suci menjagaku.

Mungkin benar, aku tak mampu banyak bicara, tak sanggup bertingkah lucu dan jenaka sepertimu. Tapi aku percaya, suatu saat kamu dapat memetik buah dari benih yang telah kau rawat, manisku. Buah yang teramat manis, dari seseorang yang hampir mati karena putus asa sepertiku.

Kau tahu? Namamu seindah musim semi, auramu menawan mengalahkan pesona bidadari. Bahkan aku yakin, Malaikat akan bersimpuh pasrah melihat ketulusanmu. Yang tiba-tiba datang merangkulku, yang tiba-tiba datang menyembuhkan lukaku. Kau ibarat air terjun di gunung yang maha tinggi. 

Kau satu-satunya air terjun yang masih tersisa di segala kemunafikan. Kau tebarkan hawa kesejukan. Kau percikkan sentuhan-sentuhan yang mampu memusnahkan semua jenis setan. Kau, iya engkau, sayangku, yang selalu memberikan energi di saat aku lelah dan terpuruk. Kau, iya engkau, manisku, yang selalu memompa detak jantungku, hingga aku benar-benar merasa paling istimewa.

Aku harap kau akan selalu kuat, merebut kembali mahkota yang selama ini dicuri oleh Tuhan, mengembalikan segala hal yang telah Ia musnahkan. Termasuk memusnahkan cinta yang dulu sempat aku yakini keberadaannya. Coba bayangkan, dunia tanpa kematian, dunia tanpa pengkhianatan. Kematian dari orang-orang yang percaya. Pengkhianatan kepada orang-orang yang berharap.

Dengarlah, sayangku. Mungkin saja sebentar lagi waktuku akan habis, meninggalkan segala yang telah kau beri. Tapi ingatkah kau tentang kembang Edelweis? Kembang-kembang itu telah beranak pinak, telah tumbuh seiring menuanya usiaku. Rebahkanlah tubuhmu yang lelah di hamparan kembang-kembang itu. Karena hanya melalui itulah, aku dapat membalas jasamu yang tak berkesudahan, jasamu yang tak akan ternilai bahkan dengan iming-iming surga di khayangan.

Tetaplah jadi kamu yang selalu seperti sekarang. Tetaplah jadi kamu yang selalu aku puja dan mimpikan. Tidurlah, manisku. Esok hari telah menunggumu dengan kejutan yang aku persembahkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun