Plato (427-347 SM), murid Socrates, mengembangkan warisan gurunya ke arah yang lebih sistematis. Melalui dialog-dialog filosofisnya yang terkenal, Plato menunjukkan bahwa debat yang baik adalah perjalanan bersama menuju kebenaran, bukan pertarungan untuk menang.
Kontribusi terpenting Plato adalah membedakan dua jenis retorika. Yang pertama adalah retorika yang buruk, seperti yang diajarkan para sofis, guru retorika profesional di Athena yang mengajarkan cara memenangkan debat dengan cara apa pun, termasuk manipulasi emosi atau argumen yang keliru. Bagi mereka, yang penting menang, bukan kebenaran.
Sebaliknya, Plato mengadvokasi retorika filosofis yang berakar pada pencarian kebenaran. Retorika yang baik harus didasarkan pada pengetahuan mendalam tentang topik yang dibahas dan pemahaman tentang audiens. Tujuannya bukan persuasi kosong, melainkan pendidikan untuk membimbing pikiran orang lain menuju pemahaman yang lebih baik.
Distinsi ini sangat relevan untuk debat OSIS. Ketika calon memaparkan program mereka, pertanyaan kritis adalah: apakah mereka benar-benar memahami isu yang dibahas, atau hanya menggunakan kata-kata indah tanpa substansi? Ketika menjawab tentang bullying, apakah solusi mereka didasarkan pada analisis matang tentang akar masalah, atau hanya slogan populer yang terdengar bagus?
Aristoteles: Struktur Argumen yang Kuat
Aristoteles (384-322 SM), murid Plato, memberikan kontribusi berbeda. Jika Socrates fokus pada bertanya dan Plato pada dialog, Aristoteles menganalisis struktur argumen itu sendiri. Ia adalah bapak logika yang mengajarkan cara berpikir sistematis.
Dalam teori retorikanya, Aristoteles mengidentifikasi tiga elemen persuasi yang efektif. Pertama, ethos yaitu kredibilitas pembicara. Apakah calon OSIS memiliki track record dan integritas yang membuat mereka layak dipercaya? Kedua, pathos yaitu kemampuan menyentuh emosi dengan tepat. Apakah mereka berbicara dengan empati tulus tentang masalah seperti bullying? Ketiga, dan paling penting, logos yang artinya logika argumen. Apakah program yang mereka tawarkan masuk akal dan realistis?
Aristoteles juga mengembangkan konsep yang sangat penting: phronesis atau kebijaksanaan praktis. Ini berbeda dari pengetahuan teoretis atau keterampilan teknis. Phronesis adalah kemampuan membuat keputusan yang tepat dalam situasi nyata yang kompleks. Inilah yang dibutuhkan pemimpin OSIS: kemampuan membaca situasi dengan benar, mempertimbangkan berbagai perspektif, dan mengambil keputusan untuk kebaikan bersama.
Lima Pelajaran dari Tradisi Debat Klasik
Dari ketiga filsuf besar ini, kita bisa menarik lima pelajaran penting tentang nilai pendidikan dalam debat:
Pertama, debat mengajarkan berpikir kritis. Setiap metode baik pertanyaan Socrates, dialog Plato, atau analisis logika Aristoteles dapat menuntut kita menguji asumsi, mengidentifikasi kesalahan berpikir, dan membangun argumen yang koheren. Ini adalah keterampilan paling berharga dalam hidup.