Mohon tunggu...
Hamidha Ellivia Anugrah
Hamidha Ellivia Anugrah Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Mengulik fakta, berbagi opini, dan menulis untuk pemikiran kritis.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Pengaruh Intensitas Penggunaan Media Sosial terhadap Kesehatan Mental dan Perilaku Sosial Anak di Bawah Umur

6 Oktober 2025   15:20 Diperbarui: 6 Oktober 2025   22:04 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat membuat anak-anak masa kini tumbuh di lingkungan yang sangat terhubung dengan dunia maya. Sejak usia dini, mereka telah mengenal berbagai platform seperti TikTok, Instagram, hingga YouTube, yang kini menjadi bagian dari keseharian mereka. Meski terlihat menyenangkan, di balik layar ponsel yang cerah itu tersembunyi ancaman serius terhadap kesehatan mental dan perilaku sosial mereka, yang sering kali tidak disadari baik oleh anak-anak sendiri maupun oleh orang tua dan lingkungan sekitarnya.

Media sosial memang membuka banyak peluang. Anak-anak bisa belajar, mencari hiburan, dan berinteraksi dengan dunia luas tanpa batas ruang dan waktu. Mereka dapat mengikuti tutorial kreatif, menonton video edukatif, atau bahkan membangun jaringan sosial yang luas. Namun, penggunaan yang terlalu sering justru menimbulkan masalah baru yang tidak mudah terlihat pada awalnya. Algoritma media sosial yang terus memunculkan konten menarik membuat anak-anak betah berlama-lama di depan layar, hingga akhirnya terjebak dalam kebiasaan yang sulit dikendalikan. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat menurunkan kemampuan fokus, mengurangi waktu tidur, bahkan membuat mereka sulit melepaskan diri dari gawai meski hanya untuk sesaat, sehingga kegiatan belajar dan interaksi sosial di dunia nyata menjadi terganggu.

Kecanduan media sosial perlahan memengaruhi keseimbangan mental mereka. Anak-anak yang menghabiskan banyak waktu di dunia maya sering kali merasa cemas dan mudah stres. Mereka mulai membandingkan diri dengan orang lain, menilai diri berdasarkan jumlah like dan followers, bukan dari kemampuan atau kepribadian yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan rasa tidak percaya diri dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Lebih parah lagi, sebagian dari mereka bisa mengalami depresi ringan akibat tekanan sosial yang muncul dari dunia maya, di mana standar kebahagiaan seolah ditentukan oleh penampilan dan popularitas. Fenomena ini juga diperkuat oleh adanya influencer atau tokoh digital yang menampilkan kehidupan yang tampak sempurna, sehingga anak-anak mudah merasa bahwa kehidupan mereka tidak sebanding dan kurang memuaskan.

Selain dampak psikologis, media sosial juga membawa perubahan pada cara anak berinteraksi. Hubungan sosial secara langsung perlahan tergantikan oleh komunikasi virtual. Mereka lebih nyaman mengirim pesan atau komentar dibanding berbicara tatap muka, bahkan ketika berada dalam satu ruangan dengan teman sebaya atau keluarga. Empati pun berkurang, karena interaksi daring tidak menuntut pemahaman terhadap perasaan orang lain. Akibatnya, perilaku negatif seperti cyberbullying semakin mudah muncul di kalangan usia muda. Tidak sedikit anak yang menjadi korban komentar jahat atau ejekan di dunia maya, yang akhirnya menurunkan semangat belajar dan membuat mereka menutup diri dari lingkungan sosialnya. Dampak ini juga sering kali sulit diketahui oleh orang tua, karena sebagian besar interaksi terjadi secara online dan tidak selalu terlihat.

Faktor lingkungan juga memiliki peran penting dalam memperkuat dampak media sosial terhadap anak-anak. Di sekolah misalnya, penggunaan gawai yang tidak terkontrol sering kali mengganggu proses belajar. Anak-anak lebih fokus pada notifikasi media sosial dibandingkan pada pelajaran, sehingga prestasi akademik bisa menurun. Tekanan dari teman sebaya pun turut memengaruhi. Ketika seorang anak tidak aktif di media sosial, ia bisa dianggap “ketinggalan zaman” atau “tidak gaul”. Akibatnya, banyak anak terpaksa mengikuti arus digital hanya demi diterima dalam lingkungannya. Padahal, hal tersebut justru dapat memicu rasa cemas dan rendah diri. Lingkungan keluarga yang kurang mendukung juga dapat memperburuk situasi, misalnya ketika orang tua terlalu sibuk sehingga tidak mengawasi atau berdiskusi dengan anak mengenai aktivitas digital mereka.

Sayangnya, tidak semua orang tua menyadari bahaya tersembunyi ini. Banyak yang menganggap anak bermain media sosial sebagai hal wajar di zaman modern, tanpa memahami dampak jangka panjangnya. Padahal, penggunaan gawai yang berlebihan dapat mengganggu kualitas tidur, menurunkan konsentrasi belajar, bahkan memengaruhi hubungan sosial di dunia nyata. Beberapa anak juga menjadi lebih mudah marah atau sulit dikendalikan ketika diminta berhenti bermain ponsel. Ini menunjukkan tanda-tanda kecanduan yang seharusnya segera diwaspadai. Jika tidak ditangani, masalah ini dapat berlanjut hingga masa remaja, bahkan memengaruhi kemampuan mereka untuk membentuk hubungan sosial yang sehat di masa dewasa.

Meski begitu, media sosial tidak sepenuhnya harus dianggap sebagai musuh. Dampaknya bergantung pada cara penggunaannya. Jika anak diberi bimbingan dan batasan yang jelas, media sosial bisa menjadi sarana pembelajaran dan kreativitas yang bermanfaat. Anak-anak bisa memanfaatkannya untuk mengekspresikan diri, mengikuti konten edukatif, atau belajar hal-hal baru yang belum tentu didapatkan di sekolah. Karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk mengatur waktu penggunaan (screen time), memberikan contoh positif, serta menanamkan literasi digital sejak dini. Anak-anak perlu diajarkan untuk menggunakan media sosial secara sehat, misalnya dengan memilih konten yang edukatif, membatasi waktu bermain, dan tidak mudah terpengaruh oleh tren yang bersifat sementara.

Selain peran orang tua, pemerintah dan lembaga pendidikan juga memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penggunaan media sosial yang sehat. Program literasi digital perlu terus diperkuat agar anak-anak dapat mengenali risiko dunia maya, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan manipulasi konten. Sekolah bisa menjadi tempat yang strategis untuk menanamkan kesadaran ini, dengan menerapkan pendidikan digital dalam kegiatan belajar sehari-hari. Kerja sama antara orang tua, guru, dan komunitas lokal dapat memperkuat pengawasan dan mendukung anak-anak untuk menggunakan teknologi dengan bijak.

Pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Yang lebih penting adalah bagaimana kita membentuk kebiasaan dan kesadaran anak dalam menggunakannya. Dunia maya memang tidak bisa dihindari, tetapi kendali sepenuhnya tetap berada di tangan manusia. Jangan sampai generasi muda kehilangan makna masa kecilnya hanya karena terjebak dalam ilusi dunia maya. Anak-anak seharusnya menikmati dunia nyata seperti bermain, belajar, dan berinteraksi langsung tanpa harus mengukur kebahagiaan mereka lewat layar ponsel. Memberikan pengalaman nyata, seperti bermain di luar ruangan, berkegiatan bersama keluarga, atau mengikuti kegiatan sosial, dapat membantu mereka memahami pentingnya keseimbangan antara dunia nyata dan dunia digital.

Kita semua memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan generasi muda di era serba digital ini. Dengan bimbingan yang tepat dan kesadaran bersama, media sosial seharusnya menjadi alat yang memperkuat hubungan manusia, bukan sebaliknya. Membangun karakter yang kuat, empati, dan rasa percaya diri jauh lebih penting daripada sekadar popularitas di dunia maya. Sebab pada akhirnya, nilai sejati seseorang tidak akan pernah diukur dari seberapa banyak orang yang mengenalnya di internet, melainkan dari seberapa tulus ia mampu menjadi dirinya sendiri di dunia nyata. Upaya ini membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan perhatian dari semua pihak, karena membentuk kebiasaan digital yang sehat adalah proses yang berlangsung seumur hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun