Mohon tunggu...
hisyam najamudin
hisyam najamudin Mohon Tunggu... Mahasiswa

intj

Selanjutnya

Tutup

Financial

Dua Dunia: Rakyat Menahan Lapar, DPR Menambah Anggaran

5 September 2025   16:53 Diperbarui: 5 September 2025   16:53 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Di tengah derasnya isu kemiskinan dan ketimpangan, rakyat Indonesia masih menghadapi harga kebutuhan pokok yang terus meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa 23,85 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2025, sementara lebih dari 7,28 juta penduduk menganggur. Inflasi pangan yang mencapai 3,75 persen menekan daya beli, membuat banyak keluarga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun pada saat yang bersamaan, di gedung megah Senayan, para wakil rakyat justru menambah tunjangan dan fasilitas dengan total gaji bulanan yang bisa menyentuh puluhan juta rupiah. Kontras ini memperlihatkan dua realitas yang berbeda: dua dunia yang hidup berdampingan, rakyat menahan beban ekonomi, sementara DPR berpesta ria.

Pernyataan Wakil Ketua DPR Adies Kadir di media baru-baru ini semakin memperkeruh persepsi publik terhadap kinerja para pejabat. Dalam sebuah wawancara, Ia keliru menjelaskan tunjangan rumah DPR dengan menyebutkan biaya kos 3 juta perbulan, namun Ia mengalikannya dengan 26 hari kerja yang Ia simpulkan menjadi 78 juta. Tak perlu waktu lama, hitungan yang tak masul akal ini segera menjadi bahan olok-olok di media sosial. Tak terkecuali Jerome Poline, lulusan matematika Waseda University. Peristiwa ini semakin menegaskan adanya batasan sosial serupa 'kasta' antara wakil rakyat dan rakyat itu sendiri. Sungguh miris memang negeri ini, elite politik hidup dalam kemewahan sembari menginjak-injak rakyat yang kelaparan.

Fenomena kenaikan gaji DPR dan blunder Adies Kadir tentu mendatangkan dampak yang lebih besar, yakni rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap para politisi. Mengutip dari detik.com, menurut survei Ipsos Global Trustworthiness Index 2024 politisi menempati urutan pertama bersama dengan influencer sebagai profesi paling tidak dipercaya publik. Kondisi ini memperlihatkan bahwa setiap kesalahan kecil anggota DPR mudah diperbesar karena akumulasi kekecewaan Masyarakat sebelumnya. Dengan kata lain, bukan semata salah hitung, melainkan percikan api yang siap siap menyulut kobaran amarah rakyat.

Angka-angka statistik mengenai kemiskinan bukan sekadar tinta di atas kertas, melainkan realitas sehari-hari yang musti dihadapi masyarakat. Harga sembako dan kebutuhan pokok lain yang terus naik membuat banyak keluarga terpaksa mengurangi porsi konsumsi, bilamana tren ini terus berlanjut tingkat pendidikan dan kualitas kesehatan akan terancam. Kaum produktif yang siap bekerja pun sulit mendapat lapangan pekerjaan yang layak, sementara banyak kebutuhan keluarga di rumah yang wajib terpenuhi. Apa peran wakil rakyat dalam kondisi ini? Apakah meningkatkan anggaran pejabat dapat mengatasi krisis sosial ekonomi di masa kini dan masa mendatang?

Dari sisi politik, Kenaikan gaji DPR menyiratkan bahwa sekarang jabatan politik hanyalah sekadar ladang pencarian uang bagi orang-orang berkuasa. Alih-alih memikirkan strategi untuk mengatasi berbagai isu sosial, sumber daya justru dikeruk dengan penuh keserakahan. Dari segi moral, ini sangat berbahaya karena menormalisasi standar ganda: rakyat diminta berhemat dan patuh kebijakan negara, sedangkan pemerintah hidup dalam fasilitas mewah dan berlebihan. Menurut (Karar & Kassa, 2025), korupsi yang merajalela dalam lembaga pemerintahan berimplikasi kuat pada runtuhnya sistem politik suatu negara. Jika memang kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin runtuhnya Indonesia lebih cepat terjadi dibanding Indonesia Emas 2045.

Jika kesenjangan sosial antara rakyat dan wakilnya terus dibiarkan melebar, rakyat tidak bisa terus untuk dipaksa diam. Rakyat yang merasa dikhianati bisa kehilangan kepercayaan, bukan hanya pada DPR, melainkan juga demokrasi itu sendiri. Kita seharusnya belajar dari berbagai kasus yang telah terjadi, hancurnya politik dan ekonomi di negara-negara afrika, revolusi yang terjadi di eropa, dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, ketika perilaku politisi elit yang mencari keuntungan pribadi dibiarkan dan masyarakat merasa politik uang adalah hal yang lumrah, krisis politik telah benar-benar menjadi krisis moral yang terus mengikis nilai Pancasila.

Pada akhirnya, ironisme kenaikan gaji pejabat perwakilan rakyat di atas penderitaan rakyat itu sendiri bukan sekadar omong kosong belaka. Hal tersebut merupakan cerminan dari bagaimana para pejabat begitu rakus akan harta dan kekuasaan. Selama jurang sosial ini tetap dibiarkan, demokrasi hanya akan menjadi panggung bagi sandiwara orang-orang elit dan berkuasa untuk membunuh keadilan dalam negeri ini. Esai ini saya tulis bukan sekadar formalitas belaka, melainkan pengingat bagi kita semua terutama mahasiswa untuk terus dan tanpa henti memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun