Dalam beberapa tahun belakangan ini, hadirlah kecerdasan buatan (AI) yang semakin memudahkan pengguna untuk melakukan aktivitasnya. Tak dapat dipungkiri bahwa fenomena ini menimbulkan banyak reaksi dari masyarakat. Salah satunya tren hasil AI ini adalah mengubah gambar menjadi kartun yang semakin marak di media sosial.Â
Dilansir dari KBS World Radio (02/04/2025) bahwa jumlah pengguna ChatGPT terdaftar telah menembus angka 500 juta orang per akhir bulan Maret lalu. Kecanggihan dari kecerdasan buatan (AI) ini selalu diperbaharui dari waktu ke waktu, sehingga makin pesat penggunanya.
Diketahui bahwa OpenAI baru saja merilis generator gambar, pengguna dapat dengan mudah menghasilkan gambar berkualitas tinggi dengan filter hak cipta yang relatif tidak dibatasi. Pengguna dapat bereksperimen dengan gaya visual kartun yang berbeda, seperti Disney, Chibi, namun Studio Ghibli terbukti paling populer, dan menjadi tren di X (twitter).Â
Rilisnya generator gambar OpenAI, yang didukung oleh GPT-4o, telah membanjiri media sosial terutama di X dengan gambar hasil AI dengan gaya seni Studio Ghibli dalam sebuah tren yang ironisnya, secara langsung bertentangan dengan animator. Ini merupakan sebuah tantangan zaman dan menciptakan tanda tanya ketika dihadapkan antara inovasi teknologi atau plagiarisme tersembunyi.
Terjebak dalam Pertanyaan Plagiarisme?
Bayangkan sebuah dunia di mana batas antara kreativitas manusia dan kecerdasan buatan semakin kabur. Tren AI Ghibli—teknologi yang meniru gaya visual Studio Ghibli—memicu dua reaksi: kekaguman terhadap kemampuannya, namun juga keraguan tentang orisinalitasnya. AI ini belajar dari ratusan karya Ghibli dan mampu menciptakan ulang dalam hitungan detik. Cepat, cerdas, dan memukau, namun apakah itu masih bisa disebut seni?
Mari kita tilik lebih dekat. AI Ghibli ini belajar dari ratusan, bahkan ribuan karya asli Studio Ghibli—dari goresan tangan Hayao Miyazaki hingga komposisi warna yang memanjakan mata. Algoritma itu menyerap, meniru, lalu melahirkan karya baru dalam hitungan detik. Pablo Picasso pernah berkata, "Karya seni yang baik adalah hasil dari perjuangan panjang." Lalu, jika AI dapat menghasilkan karya tanpa perjuangan, apakah itu karya asli? Di satu sisi, AI bisa dilihat sebagai inovasi; di sisi lain, banyak yang menganggapnya hanya sebagai mesin fotokopi canggih.
Kita tidak bisa sembarangan menyebutnya plagiarisme, tetapi kita juga harus bertanya: sejauh mana teknologi boleh menggantikan peran manusia dalam kreasi? AI Ghibli mungkin tidak berniat meniru, tapi ketika batas antara keduanya semakin tipis, kita harus bertanya: apakah keindahan yang kita lihat ini benar-benar milik kita, atau hanya pinjaman dari masa lalu yang dikemas ulang oleh mesin? AI Ghibli lagi ngetren, tapi kok rasanya kayak déjà vu berteknologi tinggi? Keren sih, tapi pertanyaan plagiarisme ngintip dari balik piksel. Kayak kata Feri Irwandi: "Ini bikinan cerdas atau cuman cerdik nyontek?" Dikutip dari "Is there a ‘right’ way to use AI in art?", The Verge, 9 April 2025.
Inovasi atau Plagiarisme
Dari sisi teknologi, kemampuan AI meniru gaya gambar Studio Ghibli memang mengesankan. Dalam hitungan detik, AI dapat menciptakan ilustrasi bernuansa hangat dengan estetika khas, menarik bagi banyak orang, terutama yang tak berlatar seni. Namun di balik kekaguman itu, muncul perdebatan. Secara hukum, gaya visual belum dilindungi hak cipta, tapi secara etika, ini jadi masalah. Gaya tersebut lahir dari proses panjang dan personal. Ketika AI menirunya tanpa izin atau kontribusi kreatif, wajar jika muncul pertanyaan: apakah ini inovasi atau bentuk plagiarisme yang tersembunyi?