Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Proyek Sepuluh Metropolitan: Sebuah Ambisi yang Perlu Evaluasi

13 September 2020   18:49 Diperbarui: 13 September 2020   19:50 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik 3: Pertumbuhan Warga Urban dan PDB per Kapita di Indonesia, RRT, serta Asia Timur dan Pasifik 1996---2016 ⏐ Sumber: World Bank (2019)

Tidak jauh berbeda, urbanisasi kerap dihubungkan dengan isu lingkungan lainnya, yaitu bencana alam. Pada rentang tahun 2003---2017, hampir lima ribu bencana alam atau 25% dari total bencana alam di Indonesia terjadi di kawasan metro (BNPB dalam World Bank, 2019). Sejalan dengannya, Gunawan et. al (2015) menyatakan bahwa resiliensi perkotaan di Indonesia terhadap bencana alam kian melemah akibat maraknya pembangunan tanpa penegakan regulasi yang kuat. Kerugian konkret dari hal ini adalah 94% dari anggaran pascabencana tahun 2011 yang dialokasikan hanya untuk wilayah urban. Lemahnya resiliensi bangunan di perkotaan sendiri sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di skala yang lebih luas. Sekitar 18% dari jumlah perumahan di wilayah urban dunia tergolong sebagai struktur bangunan nonpermanen (IMechE, 2013). 

Dengan mempertimbangkan beberapa fakta di atas, pemerintah sudah seharusnya lebih memperhatikan rencana dan regulasi pembangunan wilayah metropolitan. Dalam studi yang sama, IMechE atau Institution of Mechanical Engineers turut menyarankan supaya pemerintah dapat mengupayakan kemitraan internasional untuk transfer pengetahuan tentang pembangunan berkelanjutan. Contoh kemitraan yang paling mendekatinya adalah Kerangka Kerja Aksi Hyogo yang diusung oleh PBB untuk tahun 2005---2015.

Tak sebatas dua masalah yang menyangkut lingkungan, urbanisasi juga kembali mengangkat isu ketimpangan yang semestinya turut diperhatikan. Pada Maret 2020, Rasio Gini di daerah perkotaan di Indonesia lebih tinggi 7,6 poin persentase daripada pedesaan (BPS, 2020). Besarnya ketimpangan di perkotaan dapat ditelusuri dari manfaat urbanisasi yang tidak terdistribusikan secara merata kepada semua pekerja. Di Jawa-Bali, peningkatan masa sekolah rata-rata selama setahun hanya menghasilkan return pendapatan sebesar 4,2% untuk pekerja berketerampilan rendah, sedangkan peningkatan yang sama bisa menghasilkan return 10,3% untuk pekerja berketerampilan tinggi (World Bank, 2019). Lebih lanjut, ketimpangan ikut diakibatkan oleh harga perumahan di tengah kota yang meroket dan sistem transportasi yang buruk. Keduanya menciptakan segregasi sosial yang kelak melemahkan knowledge spillover.

Menuju Urbanisasi yang Inklusif

Setelah menilik aneka konsekuensi yang ditimbulkan oleh urbanisasi, isu ketimpangan adalah pilihan yang tepat untuk diprioritaskan. Mengatasinya beribarat sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Untuk itu, ada beberapa rekomendasi kebijakan demi mencapai urbanisasi yang inklusif. Pertama, pemerintah harus menyesuaikan dan menargetkan kebijakannya untuk kelompok khusus seperti disabilitas dan perempuan. Di Indonesia, sekitar 9% dari penduduk yang berusia sepuluh tahun ke atas menyandang disabilitas (Fetty, 2019). Berkaitan dengan angka tersebut, lantas pemerintah harus mempertimbangkan mereka dalam semua pembahasan kebijakan, termasuk perencanaan urban. Pemerintah pada praktiknya bisa mendesain kawasan metro dengan pendekatan desain universal, misalnya menyisipkan alat bantu di fasilitas umum (UN, 2016). Pendekatan itu pun akan memperluas akses penyandang disabilitas ke berbagai fasilitas umum di perkotaan, mulai dari TIK hingga transportasi.

Kemudian, berbicara mengenai perempuan, mereka mungkin adalah kelompok yang paling terancam dari urbanisasi. Menurut BPS (2017), kekerasan terhadap perempuan lebih rentan terjadi di perkotaan, dengan tingkat prevalensi 36,3%, daripada pedesaan (29,8%). Fakta itu seketika memaksa pemerintah untuk menjamin keamanan perempuan di kawasan metro. Apalagi, Komnas Perempuan (2019) mencatat bahwa 24% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ruang publik. Secara konkret, pemerintah bisa melibatkan lebih banyak perempuan dalam pendesainan kawasan metro, sehingga desain perkotaan tidak lagi by men & for men (World Bank, 2020). Lazimnya desain tersebut menciptakan ruang publik yang tidak ramah perempuan karena adanya stigma bahwa mereka sepantasnya berada di rumah saja.

Kedua, pemerintah harus meningkatkan integrasi kawasan metro untuk mengakselerasi knowledge spillover. Dalam penerapannya, pemerintah bisa mengenakan pajak yang tinggi untuk tanah yang menganggur di sana. Ketegasan tersebut amat penting dilakukan untuk mencegah praktik bank tanah, suatu bentuk penimbunan tanah demi keuntungan pribadi. Di Jabodetabek, hampir 20.000 hektare tanah dimiliki oleh developer swasta (Elmanisa et. al, 2017). Menurut estimasi peneliti, hampir satu juta rumah bisa didirikan, dan sekitar 4,24 juta orang bisa tertampung, dengan asumsi empat orang per satu rumah.

Selain tindakan yang dirasa keras, pemerintah bisa mengintegrasikan kawasan metro dengan pembangunan transit-oriented. Melalui tema tersebut, perumahan, pertokoan, dan halte transportasi umum akan ditempatkan secara berdekatan. Struktur wilayah yang proksimal ini diharapkan dapat meminimalisir penggunaan transportasi pribadi. Tak hanya itu, berkaca dari kota Seoul, pemerintah bisa meningkatkan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) di wilayah urban. Tujuan dari semuanya hanya satu: densifikasi. Menurut Mckinsey dalam World Bank (2019), densifikasi di kota San Diego sukses meningkatkan stok perumahan hingga 30%. Alhasil, pembangunan transit-oriented ini ikut mempermudah akses masyarakat ke rumah-rumah di kota metropolitan. 

Penutup

Rencana pengembangan wilayah metropolitan di Indonesia pada akhirnya patut didukung. Apalagi, kita sedang berada dalam situasi perekonomian yang tampaknya kurang bersahabat. Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan olehnya, urbanisasi hadir sebagai kebijakan yang menjanjikan di tengah ketidakpastian ekonomi. Tak dimungkiri, urbanisasi memang menyisakan banyak kerugian yang efeknya bukan main untuk kita semua. Hal itu kemudian tidak semata-mata memaksa kita untuk mundur. Sebaliknya, menyadari kerugian tersebut justru menjadi kunci untuk mengoptimalkan potensi dari urbanisasi ini, yang semua dilakukan demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun