Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Cukai, Obat yang Manjur?

9 Maret 2018   14:21 Diperbarui: 17 Juli 2018   07:32 1705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh: Noah Ikkyu Swadhesi, Ilmu Ekonomi 2016, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018

Pada tanggal 30 Desember 1995 Presiden Republik Indonesia, Soeharto, bersama Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono, mengesahkan sekaligus mengundangkan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai. Secara umum barang yang dikenai cukai terdiri dari minuman beralkohol dan hasil tembakau. Barang-barang tersebut dikenai cukai agar konsumsinya bisa dikendalikan karena pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi pengguna dan sekitarnya.

Berdasarkan kategori barang kena cukai yang paling sering menjadi bahan pembicaraan adalah rokok. Bagi sebagian orang merokok sudah menjadi rutinitas yang sulit untuk dihentikan. Pemerintah terus berupaya memutus rutinitas tersebut dengan menaikkan cukai rokok tiap tahunnya. Namun, apakah kenaikkan cukai rokok diikuti dengan menurunnya konsumsi rokok?

Secara teori pemberian pajak pada suatu barang menyebabkan jumlah permintaan akan barang tersebut menurun karena terjadi peningkatan harga. Tetapi kenyataan yang terjadi tingkat konsumsi rokok di Indonesia terus menaik seiring dengan kenaikan cukai rokok. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu, pertama, sifat rokok yang membuat penggunanya kecanduan. Kedua, maraknya penjualan rokok ilegal. Kecanduan akan rokok membuat perokok kehilangan kemampuannya untuk membuat pilihan secara rasional. Perokok secara sadar mengetahui dampak buruk merokok tetapi tidak memedulikannya ketika membuat keputusan untuk merokok (Chaloupka, et al., 2012).

Faktor pertama adalah kecanduan yang ditimbulkan bagi penggunanya. Studi yang dilakukan oleh  (Hidayat & Thabrany, 2008) menunjukkan bahwa rokok merupakan barang yang bersifat inelastis dengan koefisien elastisitas sebesar (-0,39) pada jangka panjang dan (-0,35) pada jangka pendek. Elastisitas ini berarti kenaikan harga rokok--melalui kenaikan cukai--tidak berpengaruh besar terhadap konsumsi rokok. Berarti jika cukai rokok dinaikkan, pendapatan negara tidak akan menurun secara signifikan karena tingkat harga tidak memengaruhi keputusan untuk merokok secara signifikan.

unit-tax-cukai-rokok-jpg-5aa246b9cf01b429875bb112.jpg
unit-tax-cukai-rokok-jpg-5aa246b9cf01b429875bb112.jpg
Faktor kedua, kenaikan cukai direspon dengan beralihnya konsumsi ke rokok ilegal--rokok yang tidak dikenai cukai sehingga harganya lebih rendah. Sejak tahun 2012-2016 konsumsi rokok legal tidak mengalami perubahan signifikan, cenderung konstan di angka 280 miliar batang per tahunnya. Tetapi konsumsi rokok ilegal terus mengalami kenaikan tiap tahunnya seiring dengan kenaikan cukai rokok. Pada tahun 2012 konsumsi rokok ilegal berada pada angka 26,2 miliar batang per tahun dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2016 mencapai angka 39,7 miliar batang per tahun. Hal ini menandakan kenaikan tingkat konsumsi rokok di Indonesia disumbang oleh keberadaan rokok ilegal.

konsumsi-rokok-dan-besaran-cukai-rokok-indonesia-tahun-2012-2016-jpg-5aa2446edcad5b208502a8f3.jpg
konsumsi-rokok-dan-besaran-cukai-rokok-indonesia-tahun-2012-2016-jpg-5aa2446edcad5b208502a8f3.jpg
Berdasarkan kedua faktor tersebut, beralihnya perokok mengkonsumsi rokok ilegal memiliki dampak yang lebih besar terhadap tidak menurunnya tingkat konsumsi rokok di Indonesia. Hal tersebut membuat kenaikan cukai rokok menjadi seakan tidak berdampak, dikarenakan kompleksnya sistem cukai rokok di Indonesia. 

Dalam penentuan besar cukai rokok di Indonesia terdapat banyak klasifikasi yang dipertimbangkan seperti jenis rokok, skala produksi perusahaan, metode produksi, dan harga eceran. Sistem ini memungkinkan menjamurnya produsen rokok skala kecil--terutama rokok kretek--yang memfasilitasi peran produsen lokal terhadap rokok ilegal semakin besar (Badan Pusat Statistik , 2012). 

Di Jember, Jawa Timur, pada tahun 2008 terdapat 242 produsen rokok dan 213 di antaranya tidak memiliki izin yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (Kompas, 2008). Selain itu juga ada Kota Kudus yang terkenal akan rokok kreteknya. Diperkirakan setidaknya 90% rokok ilegal berasal dari produsen lokal. Namun, di satu sisi sistem ini ternyata memperkecil penyeludupan rokok ilegal dari luar negeri karena produsen lokal mampu memenuhi permintaan--legal dan ilegal--akan rokok kretek yang paling digemari oleh konsumen lokal (Ahsan, et al., 2014). 

Sistem ini sebenarnya menguntungkan bagi produsen dengan skala kecil karena produk mereka akan mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah dibandingkan para konglomerat rokok. Tetapi pada praktiknya para produsen dengan skala kecil dikontrak untuk memproduksi rokok dengan merek dagang milik para konglomerat (Barber & Ahsan, 2009).

Melalui bahasan di atas bisa disimpulkan bahwa cukai rokok di Indonesia belum manjur karena belum bisa menekan angka konsumsi rokok. Tingginya pendapatan cukai bukanlah sebuah prestasi melainkan sebuah kegagalan. Tetapi ada hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kedua faktor pada bahasan di atas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun