Mohon tunggu...
Himatul Aliyah
Himatul Aliyah Mohon Tunggu... Lainnya - "Menulis adalah bekerja untuk keabadian," Pramoedya Ananta Toer.

Meski sastra dikata hal purba, tidak jadi trend, tak masalah buatnya. Ia tetap mencintai dunia literasi. Cita-citanya tidak muluk, tidak hendak mengubah tatanan dunia dengan pemikirannya. Namun, sekedar berbagi sudut pandang dengan para pembaca dan masyarakat luas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi atau Pamer Diri?

9 Agustus 2020   14:46 Diperbarui: 9 Agustus 2020   16:13 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber gambar: Media Suara)

Apa yang menjadi kebutuhan manusia selain sandang, pangan, dan papan? Kalau Anda menjawab pasangan, memang tidak keliru, hanya meleset sedikit. Jawaban yang saya maksud adalah kebutuhan untuk bereksistensi.

Setiap manusia pasti memiliki kecenderungan mengaktualisasi diri. Manusia tak akan sanggup hidup dengan berdiam diri dan terbelenggu dalam suatu ruang. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti akan selalu berusaha menunjukkan pada dunia bahwa mereka ada. Oleh karena itu manusia menghasilkan karya, bersosialisasi, dan membuat jaringan. Itu semua dilakukan untuk menunjukan dan mempertahankan eksistensi. Di era modern seperti saat ini, kebutuhan manusia untuk mengaktualisasi diri sangat difasilitasi. Teknologi menghasilkan media dalam jaringan yang sering kita sebut media sosial yang beraneka ragam jenisnya, mulai dari facebook, instagram, line, hingga whatsapp. Semua media sosial tadi memiliki fitur yang dapat menghubungkan manusia satu dengan manusia lain bahkan meski mereka berada pada belahan dunia yang berbeda. Dengan kata lain, jarak dan ruang tak jadi soal.

Media sosial memungkinkan manusia untuk berbagi momen pada orang lain. Misalnya saja ketika berlibur, orang akan megabadikan momen tersebut melalui foto atau video kemudian mengunggahnya pada jejaring media sosial. Hal tersebut juga menjadi salah satu cara untuk bereksistensi. Hal itu tentu bukan suatu kekeliruan.

"Tapi bisakah menjadi keliru?"

"Bisa, jika dilakukan secara berlebihan"

"Seperti apa yang dikatakan berlebihan itu?"

"Ada banyak macamnya. Misalkan saja mengunggah foto atau video nyaris tiap jamnya. Atau mengambil foto hingga ratusan kali bahkan tanpa mengindahkan situasi. Kalau sudah begini bukan lagi sekedar eksis, tapi juga narsis."

"Tapi bukankah setiap orang punya kecenderungan untuk narsis?"

"Betul. Narsis adalah perasaan cinta pada diri sendiri secara berlebihan. Setiap orang jelas memiliki kecenderungan pada hal ini. Namun sebagai manusia, kita memiliki kontrol, bukan?"

"Tapi setahuku mencintai diri sendiri itu penting. Kan ada kaitannya dengan kepercayaan diri?"

"Ya, tepat sekali. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai hilang kendali. Mencintai diri sendiri boleh, tapi jangan berlebih. Percaya diri boleh, tapi jangan ke-PD-an. Eksis tentu boleh, narsis yang tak boleh."

"Adakah ciri-ciri orang narsis?"

"Cirinya tentu banyak. Misalkan selalu iri hati pada orang lain karena merasa dirinya lebih unggul. Atau memiliki obsesi tersendiri terhadap kecantikan, ketampanan, atau prestasi. Dan yang paling menonjol adalah mereka selalu ingin dilihat."

    Memang menjengkelkan jika bertemu dengan orang-orang narsis. Orang kemungkinan akan enggan atau bahkan menghindar jika terlibat dalam situasi yang sama dengan orang-orang narsis. Namun, rupanya sikap yang paling tepat untuk menghadapi mereka dalah dengan memberi rasa iba. Kenapa bisa demikian? Sebab, ternyata orang-orang yang mengidap narsistik memiliki rasa percaya diri yang sangat rendah, meski mereka mengaku memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Hal ini telah dibuktikan dengan secara ilmiah oleh peneliti. Lebih lanjut, peneliti menyebutkan bahwa orang-orang narsis cenderung lebih mudah terkena stres. Alasannya sederhana, mereka selalu ingin mendapatkan perhatian agar muncul rasa percaya diri. Cara hidup seperti inilah yang membuat mereka rawan terjangkit stres.

    Ibarat mata koin, kehidupan selalu menyajikan sisi berbeda. Gelap dan terang, hitam dan putih, semuanya telah menjadi harmoni. Begitu pula kehidupan orang-orang narsis. Tak semua yang ada pada diri orang-orang narsis adalah negatif, sudah pasti sisi positif juga melekat dalam diri mereka. Penelitian menunjukan bahwa orang-orang narsis cenderung lebih gigih dan memiliki empati yang tinggi. Namun tetap saja, bila tak ditangani dengan baik, narsistik memiliki dampak yang sangat buruk bagi penderitanya.

    Memang sedikit membingungkan untuk memberi batas antara narsis dan eksis. Penting untuk diperhatikan bahwa kontrol terhadap diri menjadi kunci. Kebutuhan bereksistensi penting untuk dipenuhi, namun jika sampai kehilangan kontrol diri, tentu merupakan gejala narsistik. Hal lain yang perlu dipahami; mecintai diri sendiri dengan narsis adalah dua hal yang berbeda, meski nyaris sama. Ya, keduanya sama-sama berkaitan dengan rasa cinta terhadap diri sendiri. Namun, narsistik memiliki kadar yang berlebih sehingga cenderung egois dan mengabaikan orang lain serta lingkungan sekitar. Sedangkan mencintai diri sendiri artinya mampu memahami keinginan diri, tentu disertai dengan kontrol yang baik.Oleh karena itu, perhatikanlah diri anda, masuk kategori manakah anda? Eksis atau narsis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun