Maka, hadis ini perlu dicermati tidak secara tekstual saja. Perlu konteks-konteks lain yang dijadikan parameter akan sanad dan matan hadis agar tidak bias gender, bukankah berhubungan perlu persetujuan kedua belah pihak (suami dan istri)? Bagaimana jika istri/suami dalam kondisi yang sakit? Dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain untuk menyikapi keshohihan sebuah hadis. Maka dari itu, ceramah agama dengan materi bernada seksis, patriarkis dan misoginis seharusnya ditinjau ulang sebelum penyampaian agar tidak melanggengkan budaya patriarki. Pun masyarakat secara selektif dapat menyaring ceramah-ceramah agama yg tidak bernada provokatif seiring dengan mudahnya akses ceramah agama melalui berbagai media sosial.