Mohon tunggu...
 Jayandi Siregar
Jayandi Siregar Mohon Tunggu... -

Strong

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Data Palsu Ahok yang Dimentahkan Anies Baswedan

31 Januari 2017   13:45 Diperbarui: 31 Januari 2017   14:20 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca debat ke-2 beberapa waktu lalu, rasanya menarik untuk membandingkan bagaimana para paslon memberikan show yang semakin menggairahkan, lebih percaya diri, direct pada persoalan, dan tentu saja adanya “saling serang”. Meski Moderatornya tidak seheboh debat sebelumnya, tapi perjalanan debat rasanya “lebih asik” ketimbang debat pertama, yang sepertinya masih terlalu hati-hati dan cenderung difensif. Tadi malam, sepertinya masing-masing paslon menemukan panggungnya masing-masing.

Lalu apa saja yang menarik? Tentu saja akan panjang jika membahasnya sedemikian rupa, satu persatu dari awal hingga akhir. Tapi secara garis besar, dengan tanpa maksud untuk menegasikan paslon nomor 1, sepertinya paslon nomor 2 dan nomor 3 lebih menguasai dan “berisi” karena jelas dan menggunakan data. Dinamika yang terjadi antara nomor 2 dan nomor 3 tampak lebih seru dibandingkan ketika melibatkan paslon nomor 1. Mungkin (ini mungkin), pengalaman debat “tidak resmi” sebelumnya memberikan dampak yang signifikan terhadap penampilan kedua paslon tersebut.

Lalu, mari kita mulai untuk membandingkan.

Karena yang dibicarakan adalah data, maka kita harus memastikan, bahwa itu adalah fakta yang terverifikasi secara otomatis karena yang mengeluarkannya adalah lembaga yang akuntabel. Ada tabel yang bisa ditemukan banyak di media sosial yang membandingkan antara kinerja Anies, semasa di Kemendikbud sebagai menteri, dengan kinerja Ahok, ketika menjadi gubernur. Ada beberapa komponen yang dibandingkan, yaitu laporan kinerja, realisasi program, hasil audit BPK, dan laporan dari Ombudsman. Beberapa penilaian tersebut, paling tidak dapat dijadikan rujukan siapa sebenarnya yang bisa dan terbukti bekerja lebih baik.

Dari tabel itu, tergambar dengan jelas bahwa DKI Jakarta mendapatkan nilai CC (18 dari 34 provinsi) sementara Kemendikbud mendapatkan BB (12 dari 86 K/L). Artinya, Kemendikbud jelas lebih unggul. Sementara untuk realisasi program, DKI Jakarta hanya bisa menyelesaikan 70,84%. Persentase yang jauh lebih mengenaskan ketimbang Kemendikbud yang berhasil merealisasikan 93,4%. Sedangkan hasil audit BPK melaporkan, bahwa DKI Jakarta memperoleh penilaian WDP (Wajar Dengan Pengecualian) sedangkan Kemendikbud memperoleh WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Itu pun, kita semua tahu, bahwa anggaran yang dikelola Kemendikbud jauh lebih seabrek dibandingkan anggaran DKI Jakarta.

Kekalahan DKI Jakarta dari Kemendikbud ditambah dengan laporan Ombudsman yang dipublikasikan tahun 2016, yang memosisikan DKI Jakarta pada urutan ke-17 dari 33 provinsi dengan nilai 74,64 sementara Kemendikbud berada pada urutan ke-9 dari 25 K/L dengan nilai 93,10. Sayangnya, data terakhir inilah yang luput dari pembacaan Ahok sehingga ia “keseleo lidah” dengan mengatakan, bahwa Kemendikbud berada di urutan ke-22 dari 22, alias paling buncit.

Seperti kita tahu, pada saat debat itu, Ahok dengan entengnya mengatakan, bahwa Kementerian yang dipimpin oleh Anies berada pada posisi paling buncit. Sontak, data hoax dan menyesatkan itu diklarifikasi secara terbuka oleh Anies, bahwa ranking itu adalah ranking turunan dari sebelumnya. Karena faktanya, laporan Ombudsman pada periode tahun setelahnya meletakkan Kemendikbud pada ranking ke-9, dan termasuk Kementerian yang berada pada zona hijau, alias aman, damai, sejahtera, dan sentosa.

Dari data tersebut, dapat kita lihat, bahwa sebenarnya ada banyak hal yang tidak diketahui oleh masyarakat tentang bagaimana kondisi DKI Jakarta sebenarnya. Dengan tanpa menafikan hasil kerja yang ada, yang kemudian dieksplorasi dan diblow up sedemikan rupa, faktanya ada banyak laporan yang justeru melatakkan DKI Jakarta pada posisi yang “mengenaskan”. Ini fakta, dan ada banyak fakta dalam angka lain yang sebenarnya kalau dijelaskan, kita akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa ada yang aneh dengan “keberhasilan” DKI Jakarta selama ini. Kecuali kita akan mengingkari lembaga akuntabel yang mengeluarkan, sebagaimana pengingkaran atas audit BPK terhadap Sumber Waras.

Ini adalah perbandingan sebagai sesama calon gubernur yang berpengalaman mengurus instansi dan anggaran. Kalau ada yang merasa keliru dan tidak adil ketika membandingkan kinerja gubernur dengan menteri, baiklah, mari kita bandingkan kinerja Ahok dengan kinerja Foke, gubernur DKI Jakarta sebelumnya. Dalam bidang ekonomi, data yang dikeluarkan oleh jakarta.bps.go.id mengatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi pada masa Foke adalah sebesar 6,17%, lebih sukses dibandingkan Ahok yang mencapai 5,75%.

Sementara untuk akuntabilitas dalan bekerja, menurut penilaian Kementerian PAN dan RB, Foke mendapatkan nilai B, sementara Ahok mendapatkan nilai CC. Anehnya, Ahok yang katanya bersih dan garang terhadap koruptor justru unggul dalam temuan bermasalah dalam tata kelola keuangan. Temuan pada masa Ahok mencapai 30,15 triliun (setara 50% APBD DKI), jauh mengungguli Foke yang hanya hanya 4,83 triliun (13,42% APBD DKI). Sekali lagi, ini data. Ini fakta. Kecuali, sekali lagi, kita menolaknya sebagaimana laporan lain yang dengan mudah dikatakan “ada kepentingan”.

Artinya apa? Jelas dari data dan fakta itu menunjukkan, bahwa rupanya Ahok tak sehebat yang selama ini digembar-gemborkan, sekali lagi dengan tanpa menafikan kerja yang telah diselesaikannya. Sehingga tidak aneh ketika ada rakyat yang dengan semangat berniat untuk menyukupkan tugasnya sebagai gubernur karena memang, hal yang tampak terlalu dibesar-besarkan, terutama oleh pasukan medianya yang garang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun