Mohon tunggu...
Hilma Nuraeni
Hilma Nuraeni Mohon Tunggu... Content Writer

INFP-T/INFJ Book, nature, classical music, and poem🍁 Me and my writing against the world 🌼

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Meminta Maaf Bukan Karena Bersalah, Tapi Karena Jabatan yang Terancam

20 September 2025   07:45 Diperbarui: 19 September 2025   22:30 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto Sorry & Sumber: Pexel/ Ann H)

Meminta Maaf Bukan Karena Bersalah, Tapi Karena Jabatan yang Terancam

Kata "maaf" seharusnya menjadi simbol kerendahan hati, pengakuan atas kesalahan, dan kesediaan untuk memperbaiki diri. Namun di dunia yang penuh kepentingan, kata ini sering kali kehilangan maknanya. Ia berubah menjadi sekadar tameng, alat untuk menutupi kesalahan, dan senjata untuk menyelamatkan jabatan.

Fenomena ini bukan rahasia umum lagi. Dari kasus sosial, pemerintahan, hingga dunia pendidikan, kita sering melihat orang-orang yang baru bersuara ketika dirinya tersudut. Bukan karena mereka sadar salah, melainkan karena tekanan publik begitu kuat hingga membahayakan posisi mereka.

Yang muncul bukan permintaan maaf tulus, melainkan klarifikasi panjang, pembelaan diri, bahkan pernyataan ambigu yang ujung-ujungnya lebih terasa seperti "alibi" daripada refleksi.

Maaf yang Lebih Mirip Strategi Politik

Banyak tokoh atau pejabat baru mengucapkan kata maaf ketika masalahnya sudah viral. Sebelum publik ribut, mereka tenang-tenang saja. Baru setelah sorotan datang dari berbagai arah, tiba-tiba ada permintaan maaf, lengkap dengan konferensi pers atau klarifikasi.

Ironisnya, maaf itu terdengar seperti strategi politik. Tujuan utamanya bukan mengakui kesalahan, tapi menenangkan massa, meredam kritik, dan tentu saja, menyelamatkan jabatan.

Maaf semacam ini bukanlah maaf yang tulus, melainkan maaf yang lahir dari rasa takut kehilangan kekuasaan.

Klarifikasi yang Penuh Pembelaan

Kita sering melihat pola yang sama, begitu ada masalah, alih-alih mengakui secara jujur, yang muncul justru klarifikasi panjang yang sarat pembelaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun