Kalimat-kalimat seperti,
"Itu bukan maksud saya."
"Konteksnya berbeda."
"Ada kesalahpahaman."
Boleh jadi benar, tapi sering kali lebih terasa seperti upaya mengaburkan fakta daripada meluruskan keadaan. Maaf yang disampaikan akhirnya hanya formalitas, sekadar kalimat manis yang diucapkan untuk meredakan amarah publik, bukan wujud pertanggungjawaban.
Kekuasaan Lebih Penting daripada Harga Diri
Di balik maaf yang terdengar hambar itu, ada satu hal yang jelas, betapa tingginya nilai sebuah jabatan. Banyak orang rela merendahkan diri, bahkan menutup mata dari kebenaran, hanya demi mempertahankan kursi kekuasaan.
Alih-alih menjadikan jabatan sebagai amanah, mereka memperlakukannya seperti harta pusaka yang harus dilindungi mati-matian. Tak peduli harus menutupi kesalahan, memanipulasi opini, atau mengorbankan orang lain, yang penting posisinya tetap aman.
Di titik ini, kata "maaf" bukan lagi soal moralitas, melainkan transaksi, menukar kata-kata dengan kesempatan untuk tetap berkuasa.
Publik Tidak Lagi Mudah Tertipu
Kabar baiknya, masyarakat kini semakin cerdas. Klarifikasi kosong dan maaf setengah hati sudah tidak lagi semudah dulu untuk menipu banyak orang.