Public Figure Masih Diberikan Panggung Hanya Karena Lucu
Fenomena yang makin marak di era digital adalah bagaimana seorang public figure tetap dipuja, difollow, dan diberi panggung, meskipun perilakunya jelas-jelas bermasalah. Alasannya? "Tapi dia kan lucu."
Lucu, katanya, bisa menghapus jejak kejahatan. Lucu, katanya, bisa mengubah citra pelakor jadi "ikon hiburan." Lucu, katanya, bisa membuat masyarakat lupa bahwa orang ini pernah menyakiti orang lain.
Di sinilah masalah serius muncul: kita membiarkan panggung hiburan lebih penting daripada moralitas. Kita menjadikan kelucuan sebagai tameng, padahal di balik itu ada luka, korban, dan nilai yang diinjak-injak.
Mari kita bedah kenapa fenomena ini berbahaya, dan kenapa kita seharusnya lebih kritis dalam memberi ruang kepada figur publik.
Normalisasi Perilaku Bermasalah
Ketika seorang pelakor, pelaku kekerasan, atau figur bermasalah tetap diberi panggung hanya karena menghibur, publik tanpa sadar sedang melakukan normalisasi. Perilaku yang seharusnya ditolak jadi terlihat wajar, bahkan glamor.
Orang yang merebut pasangan orang lain, misalnya, justru dapat undangan talkshow. Pelaku kekerasan bisa tetap eksis di layar kaca, seolah tidak pernah ada korban. Semua dibungkus dengan tawa.
Inilah cara halus patriarki dan budaya permisif bekerja: bukan hanya dengan membiarkan, tapi dengan menertawakan. Seakan-akan dosa bisa hilang begitu saja kalau dibalut komedi.
Korban Jadi Tidak Terlihat