Mari kita mulai dengan satu pertanyaan, kalau kamu kerja 3 bulan bikin produk, lalu tiba-tiba tetangga kamu jual versi bajakannya atau KW dengan harga setengah, kamu diam aja?
Nah, itu yang dirasakan para penulis, editor, ilustrator, layouter, proofreader, dan semua orang di balik proses penerbitan buku. Tapi anehnya, begitu buku masuk ke lapak bajakan dan dijual Rp20.000, banyak orang malah bilang, "Yang penting bisa baca." Seolah-olah akses ke ilmu itu harus mengorbankan jerih payah orang lain.
Bukan berarti kita tidak peduli pada akses literasi yang inklusif. Tapi kalau kamu bisa beli kopi kekinian seharga Rp30.000 dan langganan Netflix, Spotify, atau jajan skincare tiap bulan, tapi mengeluh buku asli Rp80.000 itu mahal, mungkin masalahnya bukan di harga, tapi di prioritas.
Orang bilang, "Tapi buku asli kan mahal!" Tapi mari kita jujur, seringkali mahal itu hanya alasan untuk menghindari bayar yang adil.
Kalau kamu memang cinta buku dan peduli pada dunia literasi, bukannya malah menginjak-injak industri yang kamu nikmati. Itu seperti bilang cinta lingkungan tapi buang sampah sembarangan. Konyol.
Buku Bajakan Itu Bukan Bentuk Dukungan, Itu Bentuk Perampokan Berjamaah
Pikirkan ini, penulis menghabiskan waktu berbulan-bulan kadang bertahun-tahun untuk riset, menulis, revisi, dan menyempurnakan naskah.
Lalu buku itu melalui proses penyuntingan, ilustrasi, desain sampul, sampai dicetak dan dipasarkan. Semua itu ada biayanya, ada tenaga, ada waktu, ada hidup yang dikorbankan.
Tapi ketika seseorang memindai bukunya dan menyebarkannya secara gratis atau menjual versi bajakan dalam bentuk PDF, e-book ilegal, atau cetakan oplosan, itu bukan bentuk cinta terhadap literasi. Itu pencurian.
Dan yang lebih menyedihkan, pencurian ini dianggap biasa. Dilegalkan secara sosial. Dianggap hal wajar karena "buku itu seharusnya untuk semua orang."