Mengapa Inner Child Bisa Begitu Kuat?
Karena ia menyimpan kebutuhan yang dulu tidak dipenuhi. Kebutuhan untuk dicintai tanpa syarat, untuk diterima apa adanya, untuk dianggap pantas memiliki hal-hal menyenangkan, untuk merasa cukup. Ketika anak-anak tidak mendapatkannya, mereka belajar menekan perasaan itu. Tapi tubuh dan hati kita tidak lupa.
Saat dewasa, ketika kita memiliki kuasa untuk memilih, membeli, dan memutuskan, inner child sering muncul untuk "mencicipi" sedikit dari yang dulu tak ia punya. Dan jika kita membiarkan diri kita mendengarnya, memenuhi kebutuhannya, itu bukan kemunduran. Itu penyembuhan.
Jangan Hakimi Orang yang Mengasuh Inner Child-nya
Kita sering melihat orang dewasa membeli mainan, menangis saat menonton kartun lama, atau berburu barang-barang yang "aneh" dan "tidak penting". Lalu kita tertawa. Kita bilang mereka kekanak-kanakan, belum move on, atau haus perhatian.
Padahal, bisa jadi mereka sedang melakukan salah satu hal paling berani dalam hidup mereka, mendengarkan anak kecil dalam diri mereka yang dulu tidak pernah didengarkan siapa pun.
Mereka sedang mengobati luka. Mereka sedang mencintai bagian dari diri mereka yang selama ini diabaikan, diremehkan, atau ditertawakan. Dan bukankah itu sesuatu yang layak dihargai?
Memberi Makan, Bukan Memanjakan
Mengasuh inner child bukan berarti membiarkan diri kita lepas kendali. Ini bukan soal melampiaskan semua keinginan tanpa batas. Tapi lebih kepada merangkul. Mengakui bahwa dalam diri kita, ada versi kecil yang dulu pernah terluka karena diabaikan.
Memberi makan inner child berarti memberikan ruang bagi perasaan yang dulu ditolak. Mengatakan, "Aku tahu kamu dulu sedih karena tidak dapat itu. Sekarang aku di sini. Aku akan beliin. Karena kamu layak merasa senang."
Ini bukan soal harga barangnya. Tapi soal harga diri yang dibangun ulang, perlahan, dari hal-hal kecil.