Mohon tunggu...
hilda sasdianita
hilda sasdianita Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa pada Fakultas Hukum yang memiliki minat dan komitmen tinggi dalam pengembangan kemampuan analisis hukum serta keterampilan komunikasi. Selama menjalani studi, saya telah beberapa kali mengikuti lomba debat hukum, yang tidak hanya memperkuat pemahaman saya terhadap dinamika hukum positif di Indonesia, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis, argumentatif, dan responsif terhadap isu-isu hukum kontemporer. Dalam hal kepribadian, saya dikenal sebagai individu yang mudah beradaptasi di berbagai lingkungan, baik dalam konteks akademik maupun sosial. Kemampuan komunikasi yang saya miliki memungkinkan saya untuk bekerja secara kolaboratif dalam tim, menyampaikan gagasan secara sistematis, serta menjalin relasi yang produktif dengan berbagai pihak.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Efektivitas Penerapan Hukum Perlindungan Perempuan Dan Anak Dalam Mencegah Kekerasan Seksual Di Indonesia

11 Oktober 2025   13:00 Diperbarui: 11 Oktober 2025   13:21 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

oleh: Hilda Sasdianita_230200018, Putri Valencia_230200015

Dosen Pengampu: Dr. Fajar Khaify Rizky SH., MH & Dr. Rosmalinda SH., LLM

Saat ini, Indonesia menghadapi beragam isu sosial. Salah satu masalah sosial yang ada adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual sering kali terjadi, baik disadari maupun tidak, dan hal ini terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun tempat kerja. Banyaknya perdebatan mengenai kekerasan seksual terhadap wanita menjadi suatu hal yang sangat mengkhawatirkan bagi seluruh perempuan. Kekerasan seksual yang dialami perempuan adalah hasil dari sistem nilai yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lebih lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kekerasan pada dasarnya merupakan sebuah realita yang nyata dan sering sekali terjadi dalam masyarakat dari dulu hingga saat ini.

Kekerasan seksual merupakan segala tindakan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, serta/atau fungsi reproduksi seseorang, disebabkan oleh ketimpangan hubungan kuasa dan/atau gender, yang dapat menimbulkan penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang memengaruhi kesehatan reproduksi individu. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diakui oleh Komisi Nasional Perempuan meliputi pemerkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan untuk menikah, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan penggunaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, perlakuan tidak manusiawi yang bernuansa seksual, praktik tradisi berisiko seksual yang merugikan atau mendiskriminasi perempuan, serta kontrol seksual termasuk melalui regulasi diskriminatif yang berdasar pada moralitas dan agama. Komnas Perempuan juga mencatat terkait peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) per tahun 2025 hingga saat ini (real time) angka kekerasan seksual pada Perempuan dan anak mencapai 9.847 kasus. Hal ini membuktikan masih sulitnya menanggulangi kasus kekerasan seksual di Indonesia. sehingga angka kasus kekerasan seksual tetap saja tinggi.

Lebih jauh, tindakan pelecehan seksual anak merupakan jenis kejahatan yang berdampak sangat serius, baik bagi korban maupun untuk masyarakat secara keseluruhan. Anak-anak yang terdampak juga mengalami trauma psikologis yang dapat memengaruhi perkembangan mental dan emosional mereka. Maka dari itu, negara memiliki tanggung jawab utama untuk memberikan perlindungan maksimal kepada anak-anak melalui penegakan hukum yang efisien.

Dalam penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya diarahkan untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk mencegah terulangnya kasus yang serupa di waktu yang akan datang. Regulasi yang berlaku dalam hukum pidana di Indonesia, kejahatan seksual terhadap anak telah diatur dengan jelas, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meskipun demikian, masih terdapat banyak anggota masyarakat yang belum memahami Hukum Kesejahteraan dan Perlindungan anak. Banyak anggota masyarakat yang masih kurang memahami hak dan kewajiban anak, tanggung jawab atas Kesejahteraan dan Perlindungan anak, status anak, pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan anak, pendidikan anak, serta tanggung jawab orang tua.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual, meskipun memiliki perhatian yang berbeda, saling mendukung dalam menyediakan perlindungan yang lebih menyeluruh bagi anak-anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengatur hak anak serta cara negara melindungi anak sebagai subjek hukum, sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 lebih berfokus pada kejahatan kekerasan seksual dan penegakan sanksi pidana yang lebih ketat. Keterpaduan antara kedua peraturan ini menunjukkan bahwa pemerintah memberikan perhatian serius pada perlindungan anak, terutama dalam menghadapi kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat.

alaupun sudah terdapat peraturan yang tegas, penerapan sanksi terhadap pelanggar seringkali menghadapi berbagai rintangan. Kendala ini mencakup lemahnya kerja sama antara institusi penegak hukum, kurangnya bukti yang cukup, serta hambatan budaya yang mengakibatkan rendahnya angka pelaporan kasus oleh korban dan keluarganya. Penelitian menunjukkan bahwa proses hukum yang berkepanjangan dan tidak bersahabat untuk anak-anak juga menjadi salah satu faktor mengapa korban ragu untuk melaporkan kasus pelecehan seksual. Sebaliknya, sanksi yang diberikan kepada pelaku sering kali dipandang belum mampu mengakibatkan perubahan dan belum memberikan efek jera kepada pelaku.

Pelaku penyerangan seksual terhadap anak perlu ditangani dengan pendekatan yang tidak hanya bersifat represif tetapi juga preventif. Langkah pencegahan meliputi mengedukasi masyarakat mengenai bahaya pelecehan seksual serta urgensi untuk melaporkannya. Selain itu, bantuan kepada korban perlu diperkuat melalui sistem yang mendukung pemulihan fisik serta psikologis mereka. Studi mengindikasikan bahwa kurangnya sarana yang memadai untuk mendukung anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual menjadi penghalang dalam meraih keadilan bagi mereka. Selain itu, kerjasama antara penegak hukum, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah merupakan kunci untuk memastikan proses penegakan hukum berlangsung secara efektif dan adil.

Dianalisis dengan Teori Efektivitas dari Donald Black dan Teori Perlindungan Hukum dari Angkasa. Dalam tulisannya di The Boundaries of Legal Sociology, Black menyatakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun