Mohon tunggu...
Asy SyahidHilal
Asy SyahidHilal Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa HI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Rusia-Ukraina: Penyebab dan Bagaimana Penyelesaiannya

8 Mei 2023   22:40 Diperbarui: 8 Mei 2023   22:44 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

             Sudah 1 tahun lebih berlalu semenjak dimulainya agresi Rusia terhadap wilayah Ukraina pada bulan Februari 2022 silam. Ribuan korban telah berjatuhan dari kedua belah pihak dan kebanyakannya berasal dari pihak Ukraina. Lalu, apa yang membuat Rusia belum menghentikan agresinya hingga kini? Dan bagaimana kira-kira penyelesaian yang tepat untuk pihak-pihak yang terlibat?

            Hubungan panas-dingin antara Rusia dan Ukraina bukan baru kali ini terjadi, yang terdekat adalah krisis semenanjung Krimea yang terjadi pada 2014 yang disebabkan dilengserkannya Presiden Victor Yanukovich yang pro-Rusia oleh demonstran pro-barat. Krisis ini berakhir dengan lepasnya wilayah Krimea dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia. Hal yang serupa terjadi ketika munculnya gerakan-gerakan separatisme di beberapa provinsi di Ukraina Timur yang dekat dengan Rusia mencoba mendeklarasikan kemerdekaannya seperti Donetsk dan Luhansk, kedua provinsi ini mengirim permohonan bantuan kepada Presiden Putin yang langsung merespons dengan menjalankan “operasi militer khusus” yang menurutnya adalah sebuah operasi militer yang bertujuan untuk demiliterisasi Ukraina dan melindungi orang-orang yang menjadi korban genosida rezim Kiev.

Belakangan ini diketahui, Ukraina menjalin kedekatan dengan barat dan bahkan mengajukan diri untuk menjadi anggota NATO dan Uni Eropa. Hal ini tentunya membuat Rusia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Ukraina merasa terancam, Duta besar Indonesia untuk Rusia, Jose Tavares, menyatakan bahwa Rusia khawatir apabila Ukraina menjadi anggota NATO, AS dan sekutunya dapat meletakkan rudal-rudal beserta pangkalan militernya di perbatasan Ukraina dan akan dengan mudah menargetkan wilayah-wilayah di Rusia baik atas nama Ukraina maupun NATO. Rusia sendiri beranggapan jika Ukraina atau negara-negara lain yang menjadi bekas anggota Pakta Warsawa menjadi anggota NATO, akan menjadi sebuah hal yang sangat mengancam bagi National Interest mereka dan sangat memungkinkan untuk terjadinya konflik bersenjata antara Rusia dengan AS beserta sekutunya dalam waktu dekat.

Setelah keruntuhan Soviet pada 1991, NATO sendiri berhasil memperluas pengaruhnya ke berbagai pecahan Soviet seperti Polandia, Lituania, Estonia, dan lain sebagainya hingga pada puncaknya, NATO berencana memperluas pengaruhnya jauh ke negara-negara yang langsung berbatasan dengan Rusia seperti Ukraina dan Belarus. Hal ini tentunya sangat ditentang oleh Putin. Bukan tanpa alasan, Rusia sendiri kini berusaha merangkul kembali negara-negara CIS (Commonwealth of Independent States) dan mendirikan babak baru dari blok Timur yang tentunya menurut pandangan NATO akan sangat membahayakan kepentingan mereka. Bahkan Putin sendiri menyatakan bahwa kedua negara tersebut yakni Belarus dan Ukraina merupakan bagian dari Rusia yang mana secara kebudayaan dan sejarah, keduanya memiliki kedekatan dengan Rusia, dan tentunya dengan alasan keamanan wilayah Rusia itu sendiri. Namun, Ukraina sendiri justru menunjukkan sikap yang cenderung dekat dengan NATO dan sekutunya yang justru membuat marah pihak Moskow.

Lalu apa sebenarnya yang diinginkan oleh Rusia terhadap Ukraina dengan menjalankan “operasi militer khusus” ini? Ada beberapa hal yang Rusia inginkan dan sudah mereka ajukan dalam proses negosiasi damai dengan Ukraina. Yang pertama adalah Rusia ingin Ukraina netral terhadap pengaruh NATO, karena tentunya Rusia tidak ingin menghadapi serangkaian risiko yang muncul jika Ukraina berhasil menjadi anggota NATO. Selain daripada kepentingan keamanan, Rusia juga memiliki kepentingan lain, yakni bisnis gas alam yang disalurkan melalui pipa yang membentang dari Rusia menuju ke Eropa dan melewati wilayah Ukraina, yang mana tentu saja status Ukraina akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran bisnis Rusia ini. Yang kedua adalah demiliterisasi Ukraina. Rusia menganggap bahwa Ukraina bisa saja menjadi ancaman jika mereka memiliki senjata ofensif (utamanya senjata NATO) yang dapat membahayakan Rusia, untuk mencegah hal tersebut, Rusia menginginkan demiliterisasi Ukraina dan menyarankan agar keamanan Ukraina diserahkan kepada Rusia sebagaimana Jepang menyerahkan masalah keamanannya kepada AS. Selain kedua tuntutan tersebut, Rusia memiliki beberapa tuntutan lainnya seperti diakuinya Krimea, Donetsk, dan Luhansk sebagai wilayah Rusia, serta jaminan dilindunginya hak penggunaan bahasa Rusia di Ukraina, yang mana jika semua hal ini dituruti, ini merupakan “kecolongan” besar bagi pihak Ukraina.

Namun, apa yang membuat Ukraina begitu ingin untuk bergabung dengan NATO? Setelah bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991, Ukraina sendiri menunjukkan kecenderungan terhadap NATO dan Uni Eropa, bahkan pada 2002 Ukraina mengatakan dengan tegas atas keinginannya bergabung dengan aliansi NATO. Hal ini didasari keinginan mereka untuk benar-benar lepas dari pengaruh Rusia dan lepas dari bayang-bayang “bekas” Uni Soviet, serta melihat fakta bahwa prospek ekonomi dan stabilitas di Uni Eropa serta NATO yang terlihat menjanjikan bagi anggota-anggotanya. Dan setelah terjadinya agresi ini, apabila Ukraina dapat bertahan dari gempuran Rusia, justru akan semakin mendekatkan Ukraina kepada Uni Eropa dan NATO jika dibandingkan kepada negara agresor mereka, Rusia.

Konflik ini merupakan konflik yang dapat dikatakan sebagai konflik yang unik, karena jika kita melihat latar belakang konflik ini, kita dapat mengetahui bahwa ini adalah konflik politik, dan agresornya pun sebuah negara adidaya yang menjadi anggota dewan keamanan tetap PBB yang memiliki hak veto terhadap suatu resolusi DK PBB. Dan jika hal ini terus dibiarkan meningkat eskalasinya, tentu akan sangat berbahaya bagi negara-negara lainnya. Dan satu-satunya cara untuk menurunkan eskalasi konflik ini adalah dengan perundingan damai baik secara langsung, maupun dengan bantuan pihak ketiga yang menjadi mediator bagi kedua negara yang menawarkan win-win solution bagi kedua pihak yang berselisih, karena jika Rusia terus memaksakan kehendaknya untuk “mendemiliterisasikan” Ukraina dan Ukraina terus bertahan dan berusaha memukul balik Rusia dengan bantuan-bantuan dari dunia internasional yang di dapatnya, bukan tidak mungkin ini akan menjadi konflik dengan skala yang terus meluas dan berkepanjangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun