Suatu ketika, salah seorang murid Imam al-Ghazali merasa lelah dan bimbang di tengah pencariannya memperoleh ilmu dalam kurun waktu yang teramat panjang.
Ia menemui dirinya dilanda kebingungan dan ketidaktahuan manakah ilmu yang paling bermanfaat dan paling ia butuhkan sebenarnya. Terutama dalam rangka menuntun dan menjaga dirinya di dunia dan di hari akhir kelak agar bisa selamat. Ia juga takut kalau-kalau banyaknya ilmu yang ia tempuh dalam kepayahan dan waktu yang panjang sama sekali tidak bermanfaat baginya dan agamanya.
Berangkat dari keresahan itulah yang mendorong ia menulis surat kepada gurunya untuk meminta fatwa dan nasihat bijak serta doa, agar bisa menjadi solusi untuk menjawab keresahan yang ia alami selama ini.
Ia meminta ringkasan kepada hujjatul Islam, Imam al-Ghazali agar bisa dibaca dan diamalkan setiap hari, sehingga ia terhindar dari berlelah-lelah dalam mencari ilmu yang tidak bermanfaat.
Imam al-Ghazali pun menjawab berbagai pertanyaan yang bisa beliau jelaskan melalui tulisan dan perkataan dalam bentuk risalah. Sebagian lagi tak bisa beliau jelaskan melalui tulisan dan perkataan karena berkaitan dengan "Rasa" yang seindah apapun huruf terukir dan semanis apapun lisan berucap tak akan mampu dimengerti kecuali jika telah dirasakan sendiri. Akhirnya, dalam risalah yang beliau kirim kepada muridnya, beliau menjawab sebagai berikut:
"Sebagian pertanyaan tidak dapat dijawab dengan perkataan atau tulisan, karena hal itu sesungguhnya zawq-ku. Setiap hal yang berupa zawq (rasa) tidak dapat dijawab dengan perkataan dan tulisan. Engkau tidak dapat mengetahuinya kecuali jika engkau telah sampai kepadanya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang tidak mengetahui manis dan pahit, tapi ia ingin mengetahuinya hanya melalui perkataan dan tulisan. Dia tentu saja tidak dapat mengetahuinya."
Begitulah kurang lebih jawaban yang diberikan oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, ketika diajukan beberapa pertanyaan yang ditulis dalam bentuk surat oleh salah satu muridnya.
Saat kubaca kisah ini, sedikit demi sedikit aku mengerti bahwa Aku tak akan pernah tahu, bagaimana rasa pahit dan manisnya sesuatu sampai aku sendiri datang kepadanya atau sesuatu itu didatangkan padaku.
Aku juga tak akan tahu rasa manis dan nikmatnya menangis bersimpuh di hadapan Tuhanku, nikmatnya Istiqomah beribadah kepada Tuhanku hingga membuat candu, sampai aku sendiri yang datang, lalu merelakan diriku seutuhnya sebagai seorang hamba yang tak berdaya di hadapan Tuhanku.
Hal serupa juga terjadi pada rasa yang lainnya. Sepahit dan sesakit apapun perasaan yang menimpa orang lain, tetap aku tak akan mampu merasakannya juga.
Sedekat dan seakrab apapun aku padanya, kecuali jika aku didatangkan hal serupa seperti yang orang lain rasakan. mungkin aku akan berkaca pada rasa yang pernah hatiku rasakan dan kemudian memori tentang rasa itu kembali di ingatan dan hatiku. Sehingga ada keterikatan dan keterhubungan rasa di sana.