Mohon tunggu...
Hikmatiar Harahap
Hikmatiar Harahap Mohon Tunggu... Univ. al-Azhar Medan

Belajar, Belajar & Mendengar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siyasah: Membedah RKUHP Pasal 218 dan 219

5 Oktober 2025   20:38 Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:38 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merujuk pada H. Ismail Saleh setidaknya ada 3 (tiga) dimensi terkait dalam pembangunan hukum, yaitu dimensi pembaharuan, pemeliharaan dan penciptaan. Oleh karena itu, penting diperhatikan dengan disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi hukum nasional tentunya bersumberkan dari Pancasila dan UUD 1945 untuk menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan dan perlindungan hukum yang berlandaskan keadilan dan kebenaran untuk mencapai kemajuan dan masyarakat yang madani. Untuk itu, dapat dipastikan bahwa pembaharuan hukum suatu negara merupakan pada sikap keinginan untuk menjawab tantangan dan perubahan yang dihadapi.

Pertanyaannya, semaksimal apa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merawat kebebasan berpendapat, agar bukan menjadi opsi politis belaka, melainkan harus berlandaskan nilai moral dan prinsip kebersamaan. Jadi, bagi penulis pendekatan dalam politik Islam mengutip dari Zuhairi Misrawi dan Novriantoni bahwa kebebasan merupakan esensi kemanusiaan manusia, yang dalamnya terdapat dua nilai yang harus diperjuangkan yaitu kebebasan dan keadilan.

Jadi, adanya pasal penghinaan presiden merupakan tindak pidana, bagaimana kalau yang dilakukan dalam bentuk kritik yang membangun, protes dan pernyataan sikap, apakah masuk bagian penghinaan. Hal inilah yang menimbulkan ketidakpastian dan rentan timbulnya kesesatan berfikir dalam masyarakat.

*Politik Islam terkait Pasal Penghinaan*

Kata penghinaan berasal dari bahasa Belanda "belediging", dalam bahasa Inggris "offence", maknanya tindakan yang dilakukan untuk merusak martabat, kehormatan, baik dalam bentuk ejekan, cemoohan dan sebagainya. Mengutip dari Leden Marpaung secara normatif tindakan untuk menyerang seseorang, baik melalui merusak nama baik, atau kehormatan. Sementara dalam politik, merusak citra depan masyarakat, melalui opini-opini yang sengaja digiring untuk mempengaruhi agar panggung politiknya rusak.

Penghinaan merupakan tindakan-tindakan yang menimbulkan citra negatif depan umum, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang berdampak terutama pada aspek psikologis dan sosial. Sesuatu yang sulit untuk dihindari dalam tatanan politik tentu unsur-unsur penghinaan dan kritik dan ini seringkali muncul disebabkan adanya rasa kekecewaan, ketidakpuasan atas kebijakan dan keputusan elit politik. Oleh karena itu, penghinaan dan kritik dimensi yang memiliki perbedaan, sehingga, tindakan penghinaan tidak bisa disamakan dengan kritik, walaupun memiliki kesamaan berupa tindakan untuk penyampaian, namun materi yang disampaikan ada yang mengandung merusak, sedangkan dalam kritik materi yang disampaikan untuk memperbaiki kinerja, untuk mencari alternatif dan solusi secara bersama atau mengingatkan kinerja para steakholder.

Politik Islam telah memberikan petunjuk yang termuat dalam nash bahwa penghinaan dan kritik memiliki jalan yang berbeda, sehingga secara normatif terkait isi pasal RKUHP terkait penghinaan terhadap presiden tentu tidak searah dengan semangat politik Islam yang menekankan pada kemaslahatan, saling menghargai antar sesama, membangun semangat kesatuan dan persatuan dan mencegah untuk terjadinya perselisihan dan perpecahan antar umat.

Maka dalam hal ini, politik Islam lebih menghargai semangat kritik sebagai prinsip kontrol sosial untuk membangun semangat perbaikan serta menepis segala bentuk penghinaan/olok-olokan, yang bertujuan untuk merendahkan seseorang. Maka, melihat semangat dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait pasal penghinaan terhadap presiden, tentu untuk menjaga harkat martabat sebagai jabatan politik, bukan semata menutup kritik atau anti kritik.

Politik Islam melalui Alquran memberikan petunjuk dan pedoman sebagai alur dalam merespon dinamika kebebasan berpikir dihadapan lembaga negara melalui jalan penyampaian kritik dan dapat dijumpai dalam Alquran surah Ali 'Imran [3]: ayat 104.

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung".

Ayat tersebut merespon kehadiran "di antara kamu ada segolongan orang" yang memiliki jiwa (tindakan) kolektif yang bertugas atau berkewajiban untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan serta kebenaran dalam masyarakat. Konteksnya, bahwa dalam perjalanan membangun bangsa-negara, jabatan politik seperti Presiden tentu dituntut untuk dapat memutuskan kebijakan politik secara bijaksana dan penuh aroma keadilan, namun adakalanya kebijakan yang diambil pasti memiliki dan mengandung potensi yang baik atau ada potensi yang merugikan, membahayakan, atau tidak berpihak kepada kepentingan bersama, maka termuatlah tempat bagi sekelompok orang untuk melakukan bentuk kritik berupa orang-orang "yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar;". Maka, kritik adalah jalur yang sah dan telah diarahkan sedang konteks politik Islam ketika dalam penyampaian argumentasi harus bersifat logis dan mendidik serta berdasarkan fakta dan kebutuhan secara kolektif, bukan karena dorongan nafsu dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, penting direnungkan pada akhir ayat disebutkan "dan mereka itulah orang-orang yang beruntung", bahwa kritik merupakan kewajiban dan tanggung jawab sosial setiap diri, agar sadar bahwa kritik yang baik membawa kepada keberuntungan dan dapat menyelamatkan kepentingan kolektif. Sehingga diberikan ruang seluas-luasnya untuk menyampaikan kritiknya berdasarkan kapasitas yang dimiliki, misalkan, ekonom tentu akan mengkritisi kebijakan ekonomi, ahli pendidikan harus mengkritis perkembangan pendidikan, begitu juga ahli hukum, sosial, budaya. Dalam konteks kebijakan politik saat ini, antaranya, guyuran dana untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, Koperasi Merah Putih, Kenaikan Pajak, sulitnya mencari lapangan pekerjaan, harga sembako naik bahkan yang terbaru kenaikan tunjangan anggota legislatif merupakan kebijakan yang mendapatkan kritik tajam dari masyarakat. Pemerintah harus mendengarkan, kritik-kritik masyarakat agar kebijakan tersebut memberikan manfaat yang maksimal untuk bangsa-negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun