Mohon tunggu...
hidayatus sholihah
hidayatus sholihah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hiduplah seperti biasa dan santai saja

Selanjutnya

Tutup

Nature

Manusia Sebagai Sumber Terjadinya Konflik Manusia-Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

3 September 2025   18:18 Diperbarui: 3 September 2025   18:18 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monyet Ekor Panjang. Sumber: @ayaaamkrispi (https://x.com/ayaaamkrispi/status/1805234415435722812?t=8d3mP0asrAkTj-ZuypGomg&s=19)

Konflik antara manusia dan satwa liar semakin sering terjadi di wilayah tropis, termasuk Indonesia. Salah satu spesies yang sering berkonflik langsung dengan manusia adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), primata yang mendiami hutan, hutan bakau, dan daerah pesisir. Kedekatan geografis habitat monyet ekor panjang dengan pemukiman manusia membuat interaksi dengan manusia tidak dapat dihindari dan sering kali berujung pada konflik.

Konflik tersebut ditandai dengan adanya perilaku monyet ekor panjang yang masuk ke pemukiman warga dan merusuhi perkebunan, pertanian, merusak infrastruktur, serta mengganggu masyarakat sekitar di pemukiman. Namun di balik konflik tersebut, manusia merespon dengan represif yang mana mengancam keberlanjutan populasi monyet ekor panjang. Sisi menariknya ialah, banyak penelitian yang menunjukkan bahwasannya manusia merupakan sumber utama terjadinya konflik manusia-monyet ekor panjang.

Manusia seringkali menganggap dirinya adalah pusat dari segalanya atau yang sering dikenal dengan antroposentrisme. Pembukaan lahan hutan untuk kepentingan pembangunan demi meningkatkan taraf manusia adalah contoh nyata dari egoisme manusia dalam antroposentrisme. Dari perilaku manusia yang egoisme tersebut menyebabkan konflik manusia-monyet ekor panjang, juga mempersulit hidup manusia itu sendiri, seperti lahan pertanian dan perkebunan diserang oleh monyet ekor panjang dan mengakibatkan gagal panen, banyak sekali kasus tersebut. Dalam penelitian (Mashuri, 2024) gangguan monyet ekor panjang yang merusak dan menyerang lahan pertanian dan perkebunan milik masyarakat di Desa Karamatwangi Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan yang menyebabkan gagal panen. Juga kasus lain, di Desa Nanggung, Bogor kawanan monyet ekor panjang turun dari wilayah lereng Gunung Malang memasuki pemukiman warga dan meresahkan penduduk setempat (Geotimes, 2025).  

Dari kasus-kasus diatas terdapat banyak faktor mengapa hal tersebut dapat terjadi, yaitu karena ulah manusia. Pembalakan dan penggundulan hutan demi perkembangan kota, pertambangan, dan pertanian telah menyusutkan hutan yang luas menjadi topok-topok kecil, menyebabkan populasi satwa seperti monyet ekor panjang yang awalnya berada di habitatnya yaitu hutan menjadi berpencar serta keluar dari habitat asli ke habitat yang tersisa seperti pemukiman masyarakat. Menurut Santoso, 2019 dalam (Marshuri, 2024) terdapat banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya konflik, seperti alih fungsi hutan menjadi pemukiman dan kebun penyebab dari menurunnya tingkat kenyamanan hidup satwa liar yang dieksploitasi secara berlebihan, dimana hal tersebut memaksa satwa liar termasuk monyet ekor panjang untuk mencari makanan di luar habitatnya. 

Suksesi ekologis adalah tanggapan terhadap gangguan lingkungan, dan salah satu agen gangguan terkuat saat ini adalah aktivitas manusia. Di antara semua hewan, manusia memiliki dampak terbesar terhadap komunitas biologis di seluruh dunia. Perkembangan pertanian telah mengganggu daerah-daerah yang tadinya padang rumput ataupun lahan hutan. Dampak setelah hutan digunduli, vegetasi seperti rumput dan sesemakan seringkali mengkolonisasi daerah tersebut dan mendominasinya selama bertahun-tahun. Gangguan manusia mengurangi keanekaragaman spesies di banyak komunitas. 

Monyet ekor panjang sering mengalami berbagai ancaman termasuk kerusakan lingkungan dan hilangnya habitat seiring meningkatkan populasi manusia, baik di perkotaan dan pedesaan. Hal itu menjadi alasan terhadap perubahan perilaku monyet ekor panjang, yang dimana monyet ekor panjang dianggap sebagai hama karena suka mencuri hasil daripada pertanian dan juga merusak ladang, sehingga sering diburu. Alasan lain terjadinya konflik antara manusia dengan monyet ekor panjang juga dipengaruhi oleh minimnya jumlah predator alami seperti ular, elang, juga macan. Yang itu semua juga dampak dari deforestasi hutan yang menghilangkan predator alami, sehingga monyet ekor panjang kabur daro habitat asli ke pemukiman ataupun perkampungan warga, dan populasi monyet ekor panjang menjadi meningkat. Kebiasaan manusia yang sering memberi makan monyet ekor panjang di tempat-tempat tertentu, seperti taman dan kawasan wisata (Bali dan Jawa) mempengaruhi perilaku monyet ekor panjang yang terbiasa menjadi "akrab" dengan manusia, juga seringkali monyet dianggap hewan sakral yang mana tidak boleh disakiti, hal tersebut mengakibatkan monyet ekor panjang berperilaku manja, nakal, serta agresif atau galak bila tidak diberi makanan. Kejadian-kejadian tersebut adalah penyebab dari timbulnya konflik antara manusia dengan monyet ekor panjang.

Monyet ekor panjang memiliki sifat adaptif dengan lingkungan baru dan cepat berkembang biak. Tempat yang sangat disenangi monyet ekor panjang ialah jenis hutan bakau, hutan hujan teropis, hutan sekunder, tepi sungai, dan daerah pegunungan rendah. Di kepulauan Indonesia, populasi monyet hidup di Bali, Nusa Tenggara, Jawa, Sumatra, Kalimantan, dah Sulawesi. Banyak yang beranggapan bahwa monyet ekor panjang ini  populasinya sudah terlalu banyak atau berlebihan (overpopulasi) yang dimana seringkali menjadi konflik dengan manusia, dan menurut sebagian orang populasi monyet ekor panjang harus dikurangi. Persepsi tersebut memang tidak sepenuhnya salah, overpopulasi monyet ekor panjang hanya ada dibeberapa lokasi tertentu seperti di pulau Jawa dan kalimantan. Akan tetapi kenyataaanya, populasi monyet ekor panjang di Indonesia termasuk kedalam status terancam punah. Pada tahun 2022, IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan kondisi global monyet ekor panjang endangered (hewan terancam punah), yang dimana terdapat penurunan populasi monyet ekor panjang sekitar 40% dalam tiga generasi terakhir atau dapat dikatakan sekitar 42 tahun. Juga, disisi lain, Kementrian Kehutanan di Indonesia menyatakan bahwa monyet ekor panjang belum diberlakukan status satwa yang dilindungi. Hal tersebut tentu lah dapat berdampak berbahaya bagi ekosistem maupun komunitas primata, karena monyet ekor panjang merupakan salah satu dari mata rantai ekosistem guna menjaga keberlangsungan pelestarian lingkungan maupun alam, monyet ekor panjang berkontribusi dalam penyebaran biji pepohonan di hutan. 

Menelusuri lebih jauh ke masa lalu, konflik yang terjadi di seluruh seri ini dapat ditelusuri kembali ke aktivitas manusia. Konversi lahan, pemberian pakan yang sembarangan, pembangunan tanpa perencanaan lingkungan dan pengabaian sistem konservasi telah meningkatkan interaksi dengan monyet-monyet tersebut. Monyet ekor panjang sebenarnya hanya mencoba untuk bertahan hidup di lingkungan yang berubah. Kehadiran mereka di ladang dan pemukiman manusia adalah akibat langsung dari hilangnya habitat alami mereka. Konflik yang tidak terkendali mengancam kedua belah pihak. Petani terus mengalami kerugian ekonomi, monyet terancam oleh perburuan liar dan jumlah mereka menurun di beberapa daerah. Jika situasi ini terus berlanjut, keseimbangan ekologi akan terganggu, mengancam ketahanan pangan penduduk dan semakin sulit untuk menjaga kelestarian satwa liar serta ekologi hutan. 

Maka dari itu, solusi untuk meminimalisir terjadinya dampak yang merugikan, baik lingkungan, ekosistem hutan, dan populasi monyet ekor panjang dari konflik yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Maka, manusia harus konsisten dalam menanggulangi permasalahan konflik, juga perusakan lingkungan. Dengan memberikan edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat untuk tetap menjaga dan melestarikan ekosistem hutan, pemerintahan harus turut andil dalam hal tersebut dengan memberikan sanksi tegas kepada sesiapa saja yang merusak ekosistem hutan dan melarang pihak-pihak ilegal yang ingin mendeforestasi besar-besaran terhadap hutan secara permanen untuk kepentingan pembangunan ataupun lahan pertanian, seperti halnya lahan sawit. Pentingnya menjaga dan melindungi kelestarian pohon yang menjadi sumber pakan monyet ekor panjang yaitu dengan melakukan penanaman kembali pohon yang menjadi pakan di dalam hutan atau habitat monyet ekor panjang dan tidak lupa untuk selalu melindungi hutan yang masih tersisa.


Referensi: 

1. Geotimes.id. (2025). Mengurangi Konflik Manusia --- Monyet Ekor Panjang. Diakses pada tanggal 2 September 2025 di https://geotimes.id/kolom/mengurangi-konflik-manusia-monyet-ekor-panjang/

2. Mashuri, A. A., & Supartono, T. (2024). Gangguan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Di Desa Karamatwangi Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan. Edubiologica: Jurnal Penelitian Ilmu dan Pendidikan Biologi, 12(2), 14-22.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun