H.O.S. Tjokroaminoto, bukan hanya sekedar pahlawan Nasional, lebih dari itu, beliau merupakan aktor penting perjuangan umat Islam di Indonesia. Maka tatkala saya berkunjung ke makam beliau, ada suasana batin yang bergejolak dalam diri, seolah tidak percaya bisa berziarah langsung ke makam guru bangsa. Selain beliau, di komplek tersebut dimakamkan juga Ki Bagus Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah periode 1942-1953), dan KH. Fachrudin (Ketua Umum Muhammadiyah periode 1968-1990).
Setelah itu, saya melanjutkan ziarah ke Makam K.H. Ahmad Dahlan selaku Pendiri Muhammadiyah, karena tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke Yogyakarta jika tidak berziarah ke K.H. Ahmad Dahlan. Ziarah saya kepada para Tokoh Muhammadiyah menjadi momen yang tidak akan terlupakan, karena bertepatan dengan dengan momentum Milad Muhammadiyah ke-106 (18 November 1912-18 November 2018). Selain makam K.H. Ahmad Dahlan, disana dimakamkan juga pendiri Himpunan Mahasiswa Islam yakni Prof. Dr. Lafran Pane, yang saat ini telah mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Setelah dari Makam K.H. Ahmad Dahlan, saya melanjutkan perjalanan ke Museum Jendral Sudirman, yang merupakan bekas dari rumah beliau. Namun saat saya tiba ternyata museum tersebut sedang direnovasi, nampak hanya ada satu penjaga yang sedang bertugas di pos. Saya memberanikan diri untuk silaturahim dan menyatakan maksud, dan sungguh di luar dugaan ternyata bapak itu sangat baik bisa menerima saya bahkan bisa berdiskusi hampir dua jam.
Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan selama diskusi dengan penjaga museum tersebut, terutama berkaitan dengan sosok Jendral Sudirman. Begitu banyak pesannya, sosok Jendral yang selalu menjaga wudhu dan memuliakan tamu, Jendral yang totalitas dalam berjuang dan melakukan perlawanan, banyak yang harus diteladaninya, begitu ikhlas perjuangannya, tanpa pamrih dedikasinya.
Saat sakit parah menimpanya, perjuangannya tidak pernah padam, mendidih darahnya saat terdengar penjajah itu menyerang kembali, ia tetap melakukan perlawanan tanpa mempedulikan jiwanya, karena yang sakit sudirman, panglima besar tidak pernah sakit.
Indonesia baru saja merdeka, Belanda ingkar janji. Suara bom pesawat Belanda mengagetkan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Anak buahnya mencoba menenangkan Sudirman, "Itu hanya anak-anak yang sedang latihan perang."
Sudirman baru saja kehilangan satu paru-parunya di meja operasi. Rasa sakit masih menyiksa. Akan tetapi, instingnya sebagai ahli taktik perang berkata, ada yang tidak beres. Sadar negara dalam keadaan genting, Sudirman menemui Presiden Soekarno di Istana Gedung Agung, Yogyakarta.
Di hadapan Soekarno, Sudirman minta izin memulai gerilya untuk menghancurkan mental Belanda. Kala itu, Soekarno melarang, "Kang Mas sedang sakit, lebih baik tinggal di kota". Sudirman menyahut, "Yang sakit Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit." (kompas.com, 17/8/2010).
Setelah diskusinya dirasa cukup, saya izin pamit kepada bapak penjaga museum, ada berat hati berpisah dengan bapak tersebut, karena beliau orangnya baik dan ramah, tidak merasa terganggu waktunya dihabiskan diskusi dengan saya selama 2 jam, beliau merasa senang bahkan jika tidak saya hentikan mungkin saja diskusi tersebut berlanjut. Namun karena waktu sudah sore, saya harus melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Taman Makam Pahlawan yang didalamnya di makamkan sosok Jendral Sudirman.
Setelah mengucapkan salam dan mendo'akan para pahlawan, terutama Jendral Sudirman, ternyata waktu sudah mau memasuki Maghrib, akhirnya perjalanan harus saya hentikan, meskipun sebenarnya masih banyak tempat yang ingin saya singgahi. Namun berhubung saya harus segera menuju penginapan dan mempersiapkan untuk seminar besoknya, akhirnya  saya segera menuju penginapan. Wallohu 'Alam bi ash-Shawab.
Â