Ironi memang apa yang terjadi pada dunia Islam saat ini, seolah umat ini tidak memiliki lagi kekuatan sesungguhnya yang telah dimiliki oleh umat ini pada generasi sebelumnya. Predikat sebaik-sebaik umat yang diberikan kepada umat ini seolah tidak kita rasakan saat ini. Padahal, selama bulan Ramadhan ini umat dididik supaya bisa menjadi orang yang bertakwa.
 Berbicara tentang takwa, menarik kiranya apa yang disampaikan Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a dalam Kitb at-Taqw yang dikutip Ibn Abi Dunya "Takwa kepada Allah itu bukan dengan sering shaum di siang hari, sering shalat malam, atau sering melakukan kedua-duanya. Akan tetapi, takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan".
Maka, sungguh tak layak merayakan 'Hari Kemenangan', Idul Fitri, jika kita tidak tambah takwanya. Sebabnya, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama, "Laysa al-'id li man labisa al-jadid walakin al-'id li man takwahu yazid yang artinya Idul Fitri bukanlah milik orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Namun, Idul Fitri adalah milik orang yang ketakwaannya bertambah." Â
Perlu kiranya kita memahami bagaimana hakikat takwa ini. Imam Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah menjelaskan hakikat takwa ini, dan prasyaratnya. Takwa adalah: "Takut kepada Rabb yang Maha Agung. Menjalankan apa yang diturunkan Allah. Bersiap diri menghadapi Hari Kiamat."
Maka tanda yang mesti dimiliki orang yang bertakwa, Pertama, dia hanya takut kepada Allah. Dia yakin bahwa Allah Maha Melihat, Allah Maha Tahu dan Maha segalanya. Dia pun yakin terhadap yang ghaib lainnya yang dikabarkan oleh Allah melalui Rasul-Nya: adanya malaikat yang selalu mengawasinya 24 jam penuh. Mereka pun percaya kepada surga dan neraka.
Kedua, orang yang bertakwa adalah amalu bi tanzil yakni melaksanakan ketaatan kepada Allah, dalam kondisi suka maupun berat hati. Ketika Allah memanggil mereka untuk mendirikan shalat, mereka akan bergegas mendirikan shalat karena mereka menyadari itu adalah perintah Allah. Ketika Allah perintahkan membayar zakat, mereka dengan segera keluarkan zakat itu.
Ketika Allah perintahkan berbuat baik kepada orang tuanya, dengan senang hati mereka membahagiakan orang tuanya. Dan ketika Allah perintahkan menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, mereka akan berada di garda terdepan mendakwahkan dan memperjuangkan Islam.
Sebaliknya, ketika Allah melarang riba, mereka tak berani mengambilnya meski hanya sedikit. Ketika Allah melarang mengambil harta orang lain, mereka tak berani korupsi, mengurangi timbangan, mencuri, dan menipu. Ketika Allah larang mereka menyakiti sesama Muslim, mereka sayangi sesama Muslim dan tak berani menyakiti, mengkriminalisasi, bahkan menerornya.
Semua itu dilakukan karena orang yang bertakwa senantiasa mengingat datangnya Hari Perhitungan yakni hidup setelah mati. Itulah tanda orang bertakwa yang ketiga.
Di sanalah kita akan ditimbang amal kita. Siapa yang amal baiknya lebih berat timbangannya daripada amal buruknya, maka surga balasannya. Sebaliknya, jika amal buruknya lebih berat, neraka adalah yang paling pantas baginya.
Lebih dari itu, kita harus menyadari bahwa ketakwaan harus diwujudkan tidak hanya dalam ranah individu belaka, tetapi juga harus direalisasikan pada ranah masyarakat. Inilah yang boleh disebut sebagai "ketakwaan kolektif". Ketakwaan kolektif ini akan wujud dalam bentuk masyarakat yang menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.