Mohon tunggu...
Hidayat Harsudi
Hidayat Harsudi Mohon Tunggu... Akuntan - The Accountant

Tinggal di Kota Makassar - Auditor, Pemain Musik, dan Penikmat Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasehat Pernikahan dan Ketimpangan Hak Serta Kewajiban

2 Desember 2017   20:11 Diperbarui: 2 Desember 2017   20:38 1746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:Waarmedia.com

Pernahkah anda mendengar nasehat perkawinan?

Nasehat perkawinan merupakan salah satu agenda dalam prosesi pernikahan. Biasanya setelah dilakukan ijab kabul, seorang ustad akan memberikan nasehat bagi kedua mempelai pada khususnya dan para hadirin pada umumnnya. Banyak cara yang dilakukan oleh seorang ustad dalam memberikan nasehat perkawinan agar kelak menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah. Cara penyampaian ditentukan dengan karakter sang ustad. Salah satu karakter yang paling disukai masyarakat adalah ustad humoris

Ustad yang satu ini selalu menjadi primadona bapak-bapak yang sekedar ingin mendengarkan nasehat perkawinan yang dibawakan dengan gaya lucu. Bapak-bapak yang hadir akan sangat antusias mendengarkan. kisah saat sang suami ingin mencumbui istrinya yang bau bawang adalah kisah paling ditunggu. Bapak-bapak yang hadir biasanya akan berteriak "betul" sambil tertawa seakan mereka selalu mengalaminya. sementara ibu-ibu hanya bisa tersipu malu. 

Dibalik kelucuan gaya pembawaan yang lucu dari sang ustad dan puluhan kisah lucunya, terdapat sebuah ketimpangan dalam menyampaikan nasehat. Biasanya sang ustad terlalu berpihak di pihak laki-laki. Pihak perempuan selalu menjadi pihak yang paling mendapat banyak kewajiban dan laki-laki  adalah pihak yang paling banyak mendapat banyak hak. Laki-laki punya boleh saja punya kewajiban memberikan nafkah kepada sang istri. Tapi sang istri punya lebih banyak kewajiban setelah diberikan nafkah tersebut

Hal ini menurut penulis disebabkan oleh dua hal. yang pertama adalah orang yang membawakan nasehat perkawinan. Yang kedua adalah budaya masyarakat kita.

Orang yang berdiri di depan para tamu serta kedua mempelai dan memberikan nasehat perkawinan biasanya pakai peci atau songkok dan jarang yang pakai jilbab. Sebut saja ia adalah lelaki. Pengalaman penulis selama mendatangi acara kondangan, tak pernah penulis mendapatkan pembawa nasehat perkawinan bergender wanita. Nasehat perkawinan selalu dibawakan oleh lelaki seakan wanita tak mampu memberikan nasehat perkawinan. 

Disinilah terjadi ketimpangan hak dan kewajiban yang disampaikan dalam nasehat perkawinan. Karena pihak yang memberi nasehat berasal dari pihak laki-laki, maka nasehat yang diberikan selain didasarkan pada kitab suci dan hadits-hadits juga didasarkan pada pengalaman pribadi sang pemberi nasehat. Mungkin kitab suci dan hadits-hadits adil dalam pembagian kewajiban serta hak suami-istri, tapi pengalaman pribadi tidak demikian.

Dengan didasarkan dari pengalaman pribadi, maka nasehat perkawinan dijelaskan dari sudut pandang laki-laki. keluhan terhadap istrinya akan selalu menjadi materi nasehat perkawinannya. Perasaan kurang mendapatkan hak dari istri mengacaukan pikirannya untuk tetap adil dalam memberikan nasehat. Terjadilah ketimpangan hak dan kewajiban dalam nasehat perkawinan. Karena selalu merasa kurang mendapat hak dari istri setelah melaksanakan kewajibannya,  maka sang pemberi nasehat akan memfokuskan materinya pada kewajiban perempuan dan hak laki-laki dalam pernikahan. 

Yang kedua, Budaya masyarakat kita yang patriarki. Laki-laki selalu lebih kuat dibanding dengan perempuan, laki-laki harus berada di depan perempuan dan selalu melindunginya. Jika pembaca sepakat dengan kalimat sebelumnya, berarti kita benar-benar masyarakat patriarki sejati. 

Masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan otoritas tertinggi dalam keluarga akan memberikan lebih banyak hak kepada laki-laki dan lebih banyak kewajiban bagi perempuan. Sang raja harus melindungi rakyatnya, tapi rakyat harus patuh pada titah raja dan terus membayar pajak. Raja menjadi lambang kekuasaan daerah otonom dan oleh karena itu harus dihormati.

Di masyarakat kita tak jarang laki-laki berperilaku sebagai raja. sementara perempuan dengan senang hati menjadi dayang-dayang sang raja tadi. tidak ada keinginan dari perempuan untuk memperoleh sedikit kekuasaan. Padahal dari sebuah pernihakan bukanlah hubungan raja dengan pembantunya. Pernikahan harusnya menempatkan laki-laki dan perempuan setara dalam hak serta kewajiban. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun