Mohon tunggu...
Galuh Malpiana
Galuh Malpiana Mohon Tunggu... Sedang ikhtiar berliterasi memahami setiap susunan kalimat kata. Jika semesta itu lanskap informasi, maka menulislah itu bijak

Membangun ekosistem informasi terpercaya

Selanjutnya

Tutup

Horor

Dicegat Keluarga Hantu di Makam Cibebek (Bagian 1)

24 September 2025   00:53 Diperbarui: 24 September 2025   00:53 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi penampakan hantu di kuburan/Sumber: Tiktok 

Sekitar tahun 1988, saya dan ibu beserta paman bermaksud mengunjungi saudara di salah satu kampung yang secara administratif masuk ke Kabupaten Lebak, Banten. 

Ketika itu saya berusia 4 tahun.  Kami pergi menggunakan sepeda motor Vespa Excel 150 berwarna biru. Vespa itu kami pinjam dari suami bibi yang kebetulan sedang libur bekerja. Biasanya sih motor itu selalu dipakai kerja.

Kami berangkat dari rumah di Rangkasbitung sore sekitar jam 4.30. Mungkin Ibu pikir, berangkat sore supaya cuaca adem tidak kepanasan. Kami pun berangkat, paman menginjak pedal engkol motor. Greeng...suara khas motor Vespa itu pun rasanya terdengar renyah ditelinga.  

Paman tarik kopling, masukan gigi dan tancap gas. Perjalanan kami awali dari Rangkasbitung menuju Wates perbatasan antara kabupaten Lebak dan Pandegalang. Sepanjang perjalanan, mata disejukan dengan pemandangan pesawahan. 

Setengah jam sudah perjalanan. Kami pun tiba di Wates perbatasan dua Kabupaten di Banten. Sebuah gerbang bertuliskan selamat datang seolah menyambut kedatangan kami.

Saat itu, entah kenapa paman tiba-tiba mengerutu kepada ibu: "Emang nggak ada alternatif jalan lain. Ini sih bukan jalan, tapi kayak galangan sawah". Teteh merupakan panggilan akrab seorang adik kepada kaka di suku Sunda. Teteh artinya adalah Kaka dalam bahasa Indonesia.

Jalan yang akan kami lalui saat itu rusak parah. Jalan itu merupakan akses satu-satunya yang kami tahu. Sekedar informasi sekarang kondisi jalannya sudah bagus. Jalan alternatif juga banyak. 

Si Vespa yang kami tunggangi bertiga pun terpaksa menerobos jalan berupa tanah dan penuh batu. Cuaca tak bersahabat, langit gelap. Paman terus tancap gas.

Duarr, suara petir menggelegar diiringi air hujan yang mulai turun. "Din, hujan. Berhenti neduh dulu" pinta Ibu kepada paman. Spontan paman pun melambatkan laju motor sambil melihat ditepian jalan rumah atau gubuk apalah untuk berteduh. Kami tidak membawa jas hujan dan sialnya sepanjang jalan tidak ada rumah maupun gubuk untuk berteduh. Sepanjang jalan yang kami lihat hanya pepohonan.

"Duh gimana ini teh? Nggak ada tempat neduh" kata Paman. "Ya sudah jalan terus mau gimana lagi" jawab ibu. Berbeda dengan ibu dan paman yang panik dengan hujan. Saya sebaliknya malah seru, situasi itu serasa mengasyikkan. 

Terbang ke luar angkasa

Kaca penutup helm sengaja saya buka supaya wajah basah kuyup kena cipratan air hujan. Saya cengar-cengir sendiri, membayangkan terbang menuju luar angkasa. Tangan saya lebarkan sambil berteriak, heeeey, heyyy. Mungkin suara saya tak terdengar oleh ibu dan paman. Kalau saja dengar mungkin saya sudah dijewer. 

Saya mengelilingi luar angkasa dengan pesawat antariksa. Semua planet saya jelajahi. Namun ketika hendak memasuki sebuah planet di antah berantah, tiba-tiba pesawat antariksa saya oleng dan menabrak bebatuan.

"Gung, gung. Kamu nggak apa-apa?" tanya paman dengan nama panggilan biasanya kepada saya. "Enggak apa-apa" jawab saya. Ibu juga sigap memeriksa badan saya memastikan tidak ada yang terluka. 

Saya baru tersadar ternyata motor kami tumpangi terguling saat paman hendak menaklukan sebuah tanjakan yang licin penuh berlumpur. Bersyukur kami selamat, tidak ada satu pun yang mengalami luka. Hanya saja baju kami kotor penuh lumpur. 

Hal baiknya, hujan juga reda. Ibu menurun saya, sedangkan Paman menuntun motor. Kami mencari air bersih untuk menyeka baju yang kotor penuh lumpur. Tidak sesulit mencari tempat berteduh saat hujan tadi. Mencari air bersih di daerah itu sangat gampang. Daerah itu memang banyak selokannya karena daerah irigasi pertanian. Air bersih diselokan melimpah ruah terlebih selepas hujan. 

Ibu menyeka baju saya. Setelah menyeka bajunya, tak lupa paman juga menyeka motor. Kami istirahat sejenak dipinggiran selokan sambil menyantap nasi bekal yang ibu bawa dari rumah. "Hayu berangkat Din, udah mulai gelap ini takut kemaleman" kata Ibu sambil merapikan wadah bekal nasi. 

Setelah kenyang makan kami pun melanjutkan perjalanan. Matahari perlahan ditelan gelap. Satu-satunya penerangan saat itu hanya dari lampu motor. Hawa dingin dari baju yang basah dan angin mulai dirasa, badan mulai menggigil. "Hati-hati Din gelap" kata Ibu. "Iya teh, pengen cepet nyampe ini" timpa paman. 

Tiba-tiba paman menepi, setelah belok tajam melewati sebuah tikungan.  "Kenapa berhenti Din" ibu bertanya penasaran. Paman tak langsung menjawab, dia hanya fokus memeriksa ban bagian depan. Setelah agak lama sambil mengambil kendali kemudi motor, paman pun baru  menjawab: "Nggak apa-apa. Cuman ini motor kok rasanya agak berat takut ban kempes". Lalu ibu langsung menimpal "Terus, emang ada yang kempes bannya?". '"Nggak ada" kata paman. (*)

(Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun