Mohon tunggu...
Haryo Guritno
Haryo Guritno Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahasa Tegal Membangun Sejarah

30 Juni 2016   21:07 Diperbarui: 30 Juni 2016   21:33 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepuluh tahun lalu Kongres Bahasa Tegal I merangkai berbagai pemikiran para pemakalah dan aktualitas yang terbangun di lapangan, dengan memperhatikan pertimbangan yang meliputi:

Pertama, bahasa Tegal sebagai kekayaan budaya dan sarana pengungkapan cipta, rasa, karsa, dan karya manusia Tegal, memiliki akar kesejarahan yang sangat panjang. Bahasa Tegal lahir, mentradisi, dan tegar berkembang saling mewarnai dengan dinamika, tantangan, dan karya manusia, bahasa Tegal berfungsi: (1) identitas dan lambang kebanggaan masyarakat Tegal; (2) sarana pemersatu masyarakat Tegal; (3) sarana komunikasi antar anggota masyarakat Tegal. Karena itu,bahasa Tegal layak pula difungsikan sebagai sarana pendukung dan pengembangan budaya Tegal; bahasa pengantar pendidikan prasekolah dan sekolah dasar sebelum siswa dapat berbahasa Indonesia; bahasa pengantar dalam beragam kegiatan pembangunan daerah; mata pelajaran atau bidang studi yang diajarkan dan dipelajari siswa Sekolah Dasar dan Menengah.

Kedua, simpulan dari sejumlah telaah akademik dan pengalaman empirik yang berkenaan dengan bahasa Tegal, menginformasikan bahwa:

Penguasaan salah satu dialek terutama dialek geografik ternyata bukan merupakan kendala - tetapi justru modal dasar yang sangat menunjang - upaya mempelajari bahasa baku.

Dikotomi bahasa dialek dengan bahasa baku tidak merujuk kepada pembedaan antara kasar dan halusnya bahasa, tetapi lebih kepada pembedaan fungsinya sebagai sarana komunikasi. Dengan demikian, apa yang disebut bahasa Jawa “baku” sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya lebih bergengsi daripada bahasa Tegal; atau dengan kata lain bahasa Tegal sejajar kedudukannya dengan bahasa Jawa “baku”. Dengan sendirinya konsep “baku” berlaku juga dalam bahasa Tegal.

Dibandingkan dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, bahasa Tegal memiliki keunikan pada tataran fonetis-fonologis, morfologi, dan sintaksis. Sebagai salah satu varian bahasa Jawa, bahasa Tegal bercirikan demokratik dan egaliter sehingga mampu mengekpresikan gagasan, filosofi, dan kearifan budaya Tegal.

Penggunaan bahasa Tegal di dalam ranah sastra dan seni pertunjukan, telah meningkatkan apresiasi dan keberminatan masyarakat luas terhadap keunikan karakteristik bahasa, seni, budaya dan sejarah Tegal.

Bahasa Tegal dalam perkembangan terakhir ini tengah mengalami krisis yang membentang sejak tataran mental-kognitif hingga dimensi sosial dan material kebudayaan manusia Tegal. Penyebab krisis berkisar pada aspek politik (kelangkaan kebijakan pemuliaan bahasa Tegal), budaya (serangan nilai dan “jiwa” budaya modernitas dengan kehebatan industri informasi sebagai andalan infiltrasinya), structural-institusional (kelangkaan lembaga dan ikhtiar yang serius untuk membudayakan bahasa Tegal secara seistemik, sistematik, dan terencana).

Ketiga, kehendak mengangkat citra bahasa Tegal di tengah pergaulan bangsa, harus dipahami sebagai gerakan kultural dan tanggung jawab kolektif pemangku bahasa Tegal dalam kerangka revitalisasi fungsi dan pemuliaan bahasa Tegal. Gerakan tersebut selain merupakan bagian dari kesadaran masyarakat dunia (UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional; paradigma pluralisme dalam bingkai budaya global), juga diabsahkan oleh sejumlah produk hukum antara lain:  

Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional  (UUD 1945, pasal 32 ayat [2]. Bahasa yang secara linguistik disebut dialek,termasuk bahasa daerah juga, dan karenanya termasuk sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan pasal 36. Konsep “negara” berarti Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten (Pengembangan bahasa dan budaya daerah, diatur pula dalam UU Otonomi Daerah).

Menarik untuk mendapatkan perhatian kita adalah rekomendasi Kongres, antara lain:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun