Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Ini Sebuah Proyek Bijaksana?

13 Juli 2018   18:32 Diperbarui: 13 Juli 2018   18:40 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com tanggal 12 Juli 2018 memberitakan pemasangan hiasan bertuliskan huruf Arab. Terlebih lagi, tulisan yang terpampang di sana juga merujuk pada salah satu agama yang diakui pemerintah. Berbagai komentar pembaca dapat dirangkum menjadi negatif, tidak peduli dengan penggunaan bahasa tetapi lebih menekankan pada hal lain, dan komentar yang bersifat mendukung.

Salah seorang berkomentar, kenapa tidak menggunakan bahasa Sansekerta. Bisa jadi, jika dilihat dari akar budayanya, bahasa ini lebih mengakar dalam budaya Indonesia. Bukankah banyak istilah yang diambil dari bahasa Sansekerta, termasuk Bhinneka Tunggal Ika, Kartika Eka Paksi, Swa Buwana Paksa, Jalesveva Jayamahe, dll? Beberapa penghargaan yang diberikan pemerintah juga mengambill dari bahasa Sansekerta, seperti Kalpataru, Paramsamya Purnakarya Nugraha, dll.

Ada juga komentar yang menyarankan penggunaan bahasa Indonesia. Mengapa? Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dan bahasa Nasional sehingga wajib digunakan dalam menyampaikan informasi atau di ruang publik. Mengapa bukan bahasa Jawa sekalian dengan hururnya? Karena bahasa Jawa tidak mewakili Indonesia. Mengapa bukan bahasa Bali berikut dengan hurufnya? Bukankah banyak orang LN lebih mengenal Bali daripada Indonesia? Jawabannya hanya satu! Bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia.

Dikaitkan dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Indonesia yang berbeda-beda perlu dipersatukan dan salah satu caranya adalah dengan menggunakan bahasa. Contoh, India tidak memiliki bahasa nasional yang menyatukan seluruh India. Setiap daerah menggunakan bahasanya sendiri dan mereka menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi di level nasional. Indonesia punya keunggulan dari sisi bahasa karena kita menggunakan bahasa kita sendiri untuk mempersatukan ratusan juta rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Jadi, dari sisi pemilihan bahasa, proyek tersebut tidak mencerminkan persatuan di Indonesia, tetapi (mohon maaf) malah menujukkan parsialisme karena tidak mewakili Indonesia. Mungkin ada yang berpendapat bahwa di bawah tulisah berhuruf Arab tersebut ada tulisan dalam bahasa Indonesia. Memang benar, tetapi itu berarti kita menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sebagai bagian yang kurang penting atau hanya sebuah pelengkap. 

Kembali ke usulan penggunaan bahasa Sansekerta. Saya juga kurang setuju dengan hal ini karena bahasa Sansekerta juga bukanlah bahasa nasional Indonesia. Memang, Indonesia memiliki akar budaya yang kuat dengan bahasa Sansekerta, tetapi hal itu bukanlah sebuah alasan untuk menggunakannya  pada proyek sejenis.

Sekarang menyoal isi tulisannya... Hm... sedikit sensitif nih! Saya tidak bermaksud menyinggung umat beragama tertentu, tetapi mari kita lihat dari sisi keragaman dan pilihan para pendiri negara kita. Dari sisi keragaman, isi tulisan tersebut tidak mewakili keragaman yang dimiliki Indonesia. Justru isi tulisan tersebut menunjuk pada satu agama tertentu. Mengapa tidak dibuat juga untuk agama lain? Ini bukan masalah adil dan tidak adil. Ini masalah menghargai orang lain.

Seandainya papan tersebut dituliskan sesuatu yang berhubungan dengan agama lain dengan menggunakan huruf yang spesifik juga, saya yakin akan muncul unjuk rasa. Mengapa? Salah satu alasannya adalah tidak mewakili Indonesia. Sekarang bagaimana dengan kondisi yang sekarang ini?

Ada komentar yang mengatasnamakan mayoritas. Saya pribadi tidak setuju dengan alasan tersebut. Mayoritas bukan berarti mendapatkan prioritas. Mayoritas tidak sama dengan prioritas. Bukankah pemikiran seperti ini yang memunculkan sikap intoleransi yang akhir-akhir ini marak berkembang di Indonesia?

Para pendiri negara Indonesia telah sepakat bahwa Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan agama tertentu. Keputusan ini sudah jelas dan tidak dapat diganti. Mengganti keputusan ini berarti sama dengan membubarkan Indonesia dan mendirikan sesuatu yang baru. Itu berarti ada perpecahan, yang tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan oleh para Bapak Bangsa Indonesia.

Saya pikir, pemerintah kota Jakarta Barat sedang tidak melakukan sesuatu yang bijak. Mungkin pertimbangan yang saya tuliskan di atas belum diusulkan atau belum terpikirkan. Namun, bukankah masih ada celah yang memperbaiki diri? Memang sulit untuk memuaskan semua pihak, tetapi hikmat dan bijaksana akan menuntun seseorang untuk mengambil keputusan dengan tepat!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun