Mohon tunggu...
hesty kusumaningrum
hesty kusumaningrum Mohon Tunggu... Human Resources - swasta

seorang yang sangat menyukai film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya Kelola Toleransi dengan Baik

18 Mei 2024   11:27 Diperbarui: 18 Mei 2024   11:29 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Selama empat tahun ini kita jarang atau bahkan tidak pernah mendengar kekerasan yang disebabkan karena sentiment agama. Peristiwa besar yang terjadi karena sentiment agama, tercatat terjadi di Surabaya enam tahun lalu yang menghancurkan tiga gereja sekaligus pada saat nyaris bersamaan dan dilakukan oleh satu keluarga dan melibatkan anak-anak mereka yang masih balita. Motivasinya diketahui karena keluarga ini memiliki pandangan agama yang berbeda alias radikal.

Kejadian serupa pernah terjadi juga di negara lain. Seorang peraih Nobel bernama Martya Sen yang berasal dari India misalnya pernah menceritakan masa kecilnya saat terjadi kerusuhan Hindu-Muslim terjadi di India tahun 1947.

Sen yang waktu itu masih berusia muda menyaksikan bagaimana orang di kampungnya yang mula-mula hidup dengan rukun pada bulan Januari, namun pada bulan Juli, berubah menjadi membenci satu sama lain. Itu adalah peristiwa pemisahan Pakistan dan India. Banyak yang menyetujuinya namun tak sedikit yang menentangnya . Itu karena berdasarkan agama. Kita tahu Pakistan banyak dihuni pemeluk agama Islam sedang India mayoritas Hindu.

Keberpihakan mayoritas Hindu terhadap muslim, menghadirkan beberapa konflik yang sebagian diantaranya adalah konflik yang terjadi tahun 2020 karena amandemen UU tentang kewarganegaraan. Dalam amandemen itu disebutkan bahwa imigran dari beberapa negara sekitar seperti Afganistan, Pakistan dan Bangladesh, boleh menjadi warga negara India dengan syarat yang dipermudah, dari 11 tahun menjadi 6 tahun.

Para politisi yang mendukung kebijakan Perdana Menteri Modi yang mengeluarkan amandemen itu mendukung amandemen itu. Pengecualian terhadap Muslim, kata dia, karena asal negara mereka mayoritas  beragama muslim tidak semestinya menjadi imigran illegal di India. Pernyataan itu menimbulkan pertentangan banyak pihak. Protes berbasis agamapun terjadi dan menimbulkan kerusuhan berkepanjangan.


Belum lagi jika kita melihat kasus minoritas muslim Rohingnya versus mayoritas Budha di Myanmar. Penindasan mereka disertai dengan penindasan fisik, sehingga banyak dari mereka yang mengungsi keluar Myanmar.

Indonesia sendiri punya Sejarah soal kekerasan yang melibatkan etnis Cina (Tionghoa) dan pribumi pada kerusuhan 1998. Kerusuhan itu menimbulkan poenjarahan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap keturunan Cina di Indonesia. Ada juga konflik Poso tahun 1998 -2001 yang melibatkan umat Islam dan Kristen, selain itu juga ada konflik Ambon, Sampang, Sambas dan beberapa lainnya.

Kembali seperti narasi di atas, meski tahun 2020 dan setelahnya jarang ada konflik besar yang melibatkan dua entitas berbeda, namun riak-riak kecil seperti intoleransi masih terjadi. Seperti yang terjdi di Pamulang , di Benowo dll. Riak kecil intoleransi itu melibatkan agama mayoritas kepada agama minoritas. Jika tidak kita kelola dengan baik, bisa jadi menimbulkan konflik besar dan berkepanjangan seperti ilsutrasi di atas.

Karena itu tidak ada salahnya kita memelihara kerukunan umat beragama dan etnis yang berbeda untuk menciptakan suasana damai yang bermutu. Bukankah dengan suasana damai kita bisa membangun dan mewujudkan cita-cita bersama dengan lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun