Pemilihan Umum Legislatif (Pemilu Legislatif) sudah di depan mata. Berbagai proses menuju puncak pesta demokrasi 9 April 2014 telah dilalui, baik oleh para kandidat (caleg) maupun juga tak ketinggalan oleh masyarakat umum yang menjadi pemilik suara dalam pemilu.
Banyak hal yang membuat kita merasa tergelitik dalam melewati berbagai proses pemilu tahun ini. Ritual lima tahunan yang menjadi corong pengalihan kekuasan politik di pemerintahan tidak luput dari berbagai persoalan yang terus menghantui. Sejak awal dimulai, prosedur pemilu dibuka dengan kekacauan penetapan partai politik yang akan menjadi kontestan dalam pemilu 2014 yang meskipun akhirnya mampu dibendung oleh Komisi Pemilihan Umum dengan campur tangan penegak hukum. Sebelumnya, pada pemilu 2009, partai politik peserta pemilu ada 38 partai. Namun, di tahun 2014 ini, partai politik mengerucut menjadi hanya 12 partai politik yang bertarung di level nasional plus tiga partai politik lokal yang hanya bertarung di Aceh.
Terlepas dari berbagai catatan tersebut di atas, mari kita lihat persaingan yang sangat ketat menuju pemilu. Partai politik menawarkan kader-kadernya kepada rakyat untuk dipilih, memiliki keberagaman latar belakang sehingga memancing pemilih untuk lebih jeli dalam menjatuhkan pilihan pada caleg. Sebut saja keberagaman itu adalah antara lain, profesi, ekonomi, sosial, atau pun track record yang mereka miliki. Dari tukang ojek, tukang badut atau wong cilik hingga anak presiden berlomba-lomba ikut meramaikan bursa caleg. Antara orang yang memiliki sedikit modal (uang) hingga yang memiliki banyak modal. Antara yang polpuler dan tidak populer.
Orang yang banyak modal selalu nongol di media massa (baik di televisi, koran, dll), tak ketinggalan pula, agar lebih dikenal memampang foto dirinya dengan ukuran ekstra besar di jalan raya serta melakukan berbagai kegiatan-kegitan dengan memobilisasi massa. Ini bisa saja membuat orang terpengaruh. Pohon-pohon dipinggir jalan disiksa oleh mereka, dari belitan tali sapanduk hingga paku yang menancap. Andaikan pohon bisa bicara, mungkin akan mengutuk keras para caleg yang tak bermoral ini.
Pendidikan politik
Perlahan, tetapi terus digalakkan. Memberikan pendidikan politik yang memadai bagi masyarakat tentu solusi jangka panjang yang menjadi tanggung jawab bersama. Ketika masyarakat terjebak dalam dua pilihan, antara yang bermodal (uang) dan yang bermoral, maka dua rentetan kata ini (pendidikan politik) jika berubah menjadi tindakan tentu hasil dari tiap pemilu, terutama pemilu 2014 yang sudah di depan mata akan menghasilkan anggota parlemen yang berintegritas.
Caleg yang bermoral, dia memelihara dan merawat lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Lingkungan sosial misalnya, caleg dia tidak tidak membiarkan jalan raya dibuat gaduh oleh prilaku buruk simpatisan partai politik yang melakukan konvoi dengan suara bising kendaraan. Lingkungan alam, gambar dirinya tak dibiarkan di paku di pohon. Banyak masyarakat yang mengatakan, mengurusi suara motor yang bising saja tidak mampu, menjaga lingkungan alam agar tak ternodai saja tidak sanggup, bagaimana mau mengurus dan merawat wilayah Indonesia yang makin luas ini?. Akhirnya, Selamat memilih !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI