Dingin yang mengepung, harus dilawan. Tanpa secangkir kopi, pisang goreng, rebus ubi. Apalagi sebatang rokok.
Perjalanan masih jauh menembus desa-desa dengan jalan seadanya dan gelap merayap rayap. Merdeka sudah puluhan tahun, tapi masih banyak kehidupan tanpa penerangan.
Hanya kokok ayam bergantian bak konser kematian dalam tembang loro lopo. Yang mewartakan kemelaratan ditengah sumpeknya hidup.
Kita tak tahu dari dulu hanya sarapan tempe tahu dan mandi dari kekeruhan air yang mengalir diantara rawa-rawa pojok desa.
Seminggu keliling mencari dongeng masa lalu, tentang peperangan tempo dulu melawan penjajah. Masuk kedesa-desa mencari pahlawan sejati yang berjuang tanpa pamrih.Â
Dari pagi ke pagi yang kutemukan hanya kesengsaraan dan jeritan kepahitan saudara-saudara kita dipedesaan. Ada puluhan juta orang miskin hidup dinegeri yang kata orang kaya raya. Tanah subur bertimbun emas permata.
Tujuh puluh tiga tahun kita merdeka. Dan susah membedakan kejujuran diantara sesama anak bangsa. Susah untuk menebak, mana pemimpin sejati, dan mana pemimpin yang korupsi.Â
Semua pemimpin selalu meneriakan pembela rakyat, pemersatu bangsa, pembela bangsa. Namun masih saja KPK menangkapi petinggi-petinggi negeri ini korupsi. Bahkan polemik para elit di teve, hanya gencar membahas kekuasaan yang ujung-ujungnya dendam berkepanjangan.
Negeri ini penuh duri yang mengepung disudut-sudut negeri. Penuh rasa iri yang hinggap disetiap orang-orang yang memiliki kepentingan diri sendiri. Sehingga rakyat asing dengan kehidupan dinegeri sendiri.
Orang-orang lari mengejar mimpi untuk memaknai kehidupan sejati ditanah merdeka. Ramai-ramai berteriak merdeka yang tak kenal waktu. Lalu mengibarkan bendera merah putih ditengah himpitan hidup pas-pasan.Â
Mereka saling berpandangan dan saling menatap tajam mempertanyakan kemerdekaan. Yang tak pernah dirasakan.
Sungailiat Bangka, Â Awal Agustus 2018