Mohon tunggu...
Rahmat HerryPrasetyo
Rahmat HerryPrasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas dan editor freelance.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama FEATURED

3 Alasan Senioritas Tak Selamanya Berkualitas

17 Agustus 2020   15:25 Diperbarui: 31 Juli 2021   06:37 1331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi stres karena pekerjaan yang terlalu padat. (Sumber: Thinkstock/grinvalds via kompas.com)

Dua ajang bergengsi pertarungan di dunia sepak bola sedang berlangsung. Liga Champions dan Liga Europa. Senin dini hari (17/08/2020) tadi, misalnya, saya menonton pertandingan Sevilla melawan Manchester United di ajang Liga Europa. Hasilnya tentu sudah banyak yang tahu. MU takluk dan Sevilla meraih kemenangan.

Sementara itu, di Liga Champions, juga banyak pencinta bola yang sudah mengetahui hasilnya. Klub-klub besar seperti Real Madrid, Barcelona, Juventus, dan Manchester City mengalami derita kekalahan. Padahal, senioritas mereka di dunia sepak bola tak usah diragukan lagi.

Klub-klub hebat tersebut sudah membuktikan diri sebagai kesebelasan papan atas. Tak hanya empat klub yang sudah saya sebutkan, masih banyak klub yang kita mengenalnya sebagai tim yang hebat. Liverpool, misalnya, atau Chelsea, di Liga Inggris. Ada Napoli di Liga Italia, dan banyak klub besar lain di liga-liga domestik masing-masing negara.

Nama besar, tim hebat, dan sering menang dalam pertandingan merupakan beberapa ciri senioritas yang mumpuni. Namun, meski berada di level senior alias sudah punya banyak pengalaman kesuksesan, tim-tim tersebut tidak selalu menunjukkan performa yang bagus. Tidak selalu ada kualitas dalam setiap penampilannya. 

Tidak hanya di dunia sepak bola. Di dunia kerja, kita sangat mengenal karyawan senior-junior. Biasanya karyawan yang senior dianggap pribadi yang sudah memperoleh banyak pengalaman, punya kemampuan lebih dibanding juniornya. Jiwa kepemimpinan para senior juga lebih matang dibanding pendatang baru, debutan, atau junior di dunia kerja.

Saya bisa menyebutkan hal tersebut karena dulu saya juga sebagai karyawan di beberapa perusahaan. Pernah saya sebagai kutu loncat, pindah-pindah kerja dengan alasan simpel, tidak betah di satu kantor misalnya, kemudian loncat ke kantor lainnya.

Tentu banyak alasan lain kenapa saya berpindah-pindah kerja. Namun, itu bisa saya tuliskan pada bagian lainnya alasan orang seperti saya menjadi kutu loncat. Kali ini saya ingin fokus pada senioritas. Terinspirasi dari dunia bola dan dunia kerja.

Orang-orang yang berada di level senior memang sudah seharusnya bisa menunjukkan performa terbaik, kualitas mumpuni, dan mampu menginspirasi para juniornya. Namun, tidak selamanya begitu. Pertanyaannya, mengapa senioritas tidak selamanya berkualitas?

Setidaknya, ini yang bisa saya tuliskan berdasarkan pengalaman kerja di beberapa kantor, di masa lampau.

Pertama, orang-orang yang berada di tingkatan senior terlena di zona nyaman. Karena merasa senior, misalnya, mereka lebih sering memerintah juniornya dan tidak banyak melakukan pekerjaan, yang seharusnya mereka kerjakan sendiri. 

Memang sangat nyaman bisa memerintah orang lain dan kita cukup ongkang-ongkang kaki menikmati dunia kesuksesan di level senior.

Namun, akibat buruknya, perlahan-lahan para senior yang lebih sering memerintah tanpa melakukan tindakan menjadi kehilangan ilmu, keahlian yang mereka miliki, bahkan respons dalam mengatasi setiap masalah menjadi lambat. 

Kemanjaan itulah yang kemudian mewarnai dunia senioritas, ingin selalu disanjung puji, dan tidak mau dikritik para juniornya. Mudah marah juga kemudian muncul dari jiwa para senior yang merasa zona nyamannya terganggu, ketika para junior mulai menunjukkan kinerja yang lebih hebat.

Kedua, para senior mudah meremehkan juniornya. Bentuk peremehan itu, misalnya, tidak mau mendengarkan secara lengkap penjelasan juniornya jika ada suatu masalah. Main potong pembicaraan lalu menyimpulkannya sendiri. 

Padahal, penjelasan yang diberikan padanya belum lengkap. Selain itu, para senior hanya asal-asalan saat menilai kualitas juniornya. Tidak mau menggali lebih dalam potensi yang dimiliki para juniornya sehingga orang-orang yang berada di level senior mudah kehilangan daya analisis yang jitu.

Ini tentu akan berakibat buruk pada cara berpikir hingga kemudian berpengaruh pada cara bertindak para senior. Kualitas pun mudah meredup dan hasil kerja para senior juga tidak akan mengagumkan; biasa-biasa saja seperti halnya yang dilakukan para junior yang baru mulai kerja, yang diremehkannya.

Ketiga, para senior tidak mau belajar dari juniornya. Apalagi jika si senior lebih terbiasa memerintah, memberi instruksi, dan harus ditaati, tanpa menyediakan ruang kritik dan saran dari juniornya. 

Para senior yang terbiasa bekerja seperti ini akan menganggap apa yang dilakukannya bermutu, sementara apa yang dilakukan orang lain tidaklah sekelas dengan apa yang diperbuatnya. Ini akan sangat berdampak buruk pada kadar kualitas senioritas.

Orang yang berada di zona nyaman senioritas dan tidak mau belajar dari juniornya tidak akan berpeluang mendapatkan ilmu baru. 

Para junior memang belum menampakkan kualitasnya dengan cepat karena perlu proses latihan, praktik, dan evaluasi. Namun, dalam perjalanan proses tersebut selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari junior.

Namun, jika hati dan pikiran sudah tertutup, apalagi merasa hebat dan senior, maka tidak akan ada pelajaran hidup yang bisa dipetik. Alangkah baiknya, meskipun berada di zona senioritas, tetaplah membuka diri untuk belajar hal-hal baru. 

Dunia tidaklah statis, berkembang demikian pesatnya, maka para junior sering kali menyimpan berjuta-juta ilmu baru di dalam dirinya. Tugas seniorlah yang memunculkan banyak potensi di dalam diri para junior, sehingga bermanfaat untuk banyak orang dalam satu tim, lalu meraih kesuksesan bersama.

Itulah sekilas tulisan saya, yang ingin terus belajar dari banyak sumber, dari orang-orang yang berada di level diremehkan maupun dari orang-orang hebat yang rendah hati.

Salam merdeka, salam inspirasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun