Sabtu siang (4/10/2025), setelah berhasil berburu bibit pohon mangga Kiojay- varietas mangga asal Thailand, dan jambu Kesuma Merah varietas jambu air unggul yang dikembangkan di Binjai, Sumut, Mas Prapto beserta Mbak Yuni mengajak menikmati nasi goreng kecombrang di Ukier Plawang Restaurant.
Jarak dari Embun Pagi (penjual bibit pohon buah) di Sanggrahan, Sleman ke Ukier Plawang, Jalan Pakem-Turi, Girikerto, Sleman, sejauh sebelas kilometer, kami tempuh dalam waktu tidak kurang dua puluh menit. Jika dari pusat kota Yogyakarta, Ukier Plawang berjarak sembilan belas kilometer ke arah gunung Merapi.
Dalam budaya Jawa, loro blonyo dimaknai sebagai keselarasan hidup, kesatuan lahir batin, kesetiaan, keharmonisan, rezeki, keindahan, dan kesederhanaan. Sedangkan gamelan memiliki makna filosofis sebagai harmonisasi, kesadaran dan kejelasan dalam mengambil keputusan mencapai tujuan hidup.
Melintasi ruangan itu diharapkan para tamu merasa bahagia, memiliki kebijaksanaan dalam hidup dan kehidupan: nrima ing pandum, seneng ati sugih kersa- ikhlas/legawa, kaya hati dalam kebahagiaan.
Sayangnya saat kami datang, tidak ada penabuh gamelan dan waranggana (sinden), sehingga tidak dapat menikmati alunan tembang Jawa secara live. Padahal sudah terlintas dalam pikiran laras tembang "Rujak Jeruk" dan "Caping Gunung": Dek jaman berjuang/Njur kelingan anak lanang/Mbiyen tak openi/Neng saiki ono ngendi...
Meskipun dari depan bangunan joglo sudah menjanjikan kenyamanan, tetapi saat masuk jauh kedalam, melewati dua bangunan berseberangan dengan gebyog penuh ukiran, di atas pintu bangunan sebelah kanan tertulis Dhandanggula dan di sisi kiri Gambirsawit, terlihat pemandangan outdoor begitu luas menakjubkan.
Di seberang kali terdapat beberapa gazebo dan deretan meja kursi dinaungi payung-payung berukuran besar. Untuk mencapai tempat itu, kami harus melewati jembatan kecil dan menuruni beberapa anak tangga lagi.
Meskipun ada berbagai menu: iga bakar, nila kuah kuning, bistik jawa, mangut lele, ayam ungkep, sup buntut, dan banyak lainnya, tetapi kami berteguh hati memesan nasi goreng kecombrang, minuman wedang ukier, wedang secang, dan camilan bakwan jagung serta pisang goreng.
Tidak memerlukan waktu lama, pesanan tersaji di meja. Wangi kecombrang dan bumbu rempah tercium tajam menggugah selera.
"Nasi gorengnya memiliki sensasi berbeda. Tidak sekadar gurih. Ada rasa rempah menggoda dan aroma kecombrang menyegarkan. Satu lagi, nasi gorengnya tidak berminyak," komentar Mas Prapto sambil terus menikmati nasi goreng kesukaannya.
Sambil menikmati sepiring nasi goreng kecombrang plus wedang ukier, saya mendapatkan pengalaman rasa kuliner yang autentik, sesuai tagline Ukier Plawang: nasgitel, mirasa, dan cespleng.
Semua membuat lupa terhadap cerita rakyat yang beredar dalam kehidupan masyarakat pinggiran kali Sempor mengenai misteri bulus raksasa seukuran orang dewasa penghuni bendungan lor. Tidak ingat lagi dongengan misteri suara jeritan anak perempuan di sekitar kali Sempor.Â
Pikiran saya hanya melekat pada kenyataan bahwa di selatan tempat kami duduk saat ini, terdapat tempuran tempat bertemunya kali Sempor dengan kali Duren dan kali Denggung. Ah, mungkin sesaat lagi akan tercipta puisi keheningan yang mengenyangkan di alam terbuka...(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI