Terletak di mulut Jalan Watuadeg,  Desa Beneran, Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta, bangunan warung kopi dan masakan rumah Kopi Lali terpampang begitu asri, menyatu dengan alam. Terlebih bangunan rumah jawa berbentuk limasan itu dilengkapi meja kursi tertata rapi di dalam maupun terasnya, semua berbahan kayu.
Begitu berbelok  ke kanan dari perempatan Jalan Pulowatu, saya bersama Mas Prapto, Mbak Yuni, dan Ibu Negara Omah Ampiran (28/9/2025), mengikuti papan petunjuk arah Kopi Lali berwarna kuning mencolok. Kedamaian alam pedesaan menyergap diam-diam.Â
Di kanan kiri jalan aspal yang tidak seberapa lebar, bejajar pohon kelapa, pohon salak, tanaman perdu, dan pohon besar lainnya. Tidak terlihat tiang listrik maupun tiang penyedia layanan internet yang biasanya "menjajah" hingga pelosok desa.
Ia kemudian bercerita bagaimana hidup di desa penghasil buah salak dan cara memanfaatkan buah salak. Baginya, salak yang  diolah menjadi kripik, asinan, jenang,  merupakan hal biasa. Suatu ketika, iseng-iseng, ibu  tiga anak ini mengambil salak  muda, kemudian  dioseng-oseng. Ternyata rasa  asam manisnya menggoda dan memiliki tekstur lembut.
"Ibu saya dulu suka merebus buah salak utuh tanpa dikupas, dibumbui garam. Rasanya enak, percampuran  rasa manis, asin, dan gurih," kenang Elly.
Meskipun begitu, bukan berarti menunya asal-asalan atau rasanya ngalor-ngidul. Sebaliknya, menunya sangat spesial, jarang ada di tempat lain: oseng-oseng bunga pepaya, rica-rica jambal, pindang cabe ijo, oseng cabe ijo, bakmi lali, nasi rempah, dan lainnya. Untuk camilan ada ubi dan salak goreng. Sedangkan minumannya ada kopi dan teh rempah.
"Baru sekali ini mencicipi oseng-oseng salak, tapi rasanya enak. Manis gurih dan pedasnya pas. Teksturnya lembut. Pokoknya nagihi," komentar Ibu Negara Omah Ampiran puas.
"Teh rempahnya juga nikmat dan menghangatkan badan," timpal Mbak Yuni, salah seorang anggota Jogjakarta Ukulele Society.
Perempuan itu dengan ramah menyebutkan menu yang tersedia. Dengan sigap ia menata nasi rempah, oseng salak, pindang cabe ijo ke piring Ibu Negara.
"Pakai krupuk atau tidak? Minumnya ada teh rempah, silakan menuang sendiri. Kalau menginginkan kopi, nanti saya buatkan," ujar Mbak Atik.
Seandainya kita menginginkan krupuk, maka akan diambilkan Mbak Atik. Pesanan kopi pun diantarkan dalam waktu  tidak lama. Jangan berharap ada daftar menu beserta harga seperti umumnya di warung makan.Â
Menu yang tersedia bisa  dilihat  langsung di etalase pelayanan. Di wadah dalam etalase tertulis menu yang tersedia. Jangankan daftar menu dan harga, di sini  juga tidak ada meja kasir pembayaran. Hanya ada kotak bertuliskan "Ojo lali  bayar di sini seikhlasnya".
"Lali itu merupakan gabungan nama anak saya, Maulana dan Lintang. Makna ngopi sejatinya ngolah pikir. Nah, yen lali ngolah pikir, mampirlah ke Kopi Lali, kita bisa sharing tentang apa saja yang baik-baik," ujar Pak Jarwo hangat saat menemani kami ngobrol.
Lali bisa juga dibaca sebagai lila, lilahitaala, bermakna  ikhlas. Itu yang menjadi corporete culture bagi  Kopi Lali.
"Setiap warung tutup jam tiga sore, saya keliling, membaca satu per satu tulisan dalam bingkai itu. Sudah sampai dimanakah diri saya? Kalau saya masih seperti yang kemarin, saya rugi. Jadi harus ada kebaikan berkelanjutan," jawabnya sambil tersenyum lebar.
Nikmatnya masakan rumahan dan hangatnya suasana di dalamnya, membuat pelanggan bahagia, lupa mengenai keluhan hidup.
Usai menikmati  makanan, beberapa pelanggan berpamitan menyalami Pak Jarwo yang tengah duduk semeja dengan kami.
"Nyuwun pamit Pak, matur nuwun."
Ungkapan renyah itu mencerminkan kepuasan pelanggan sekaligus ucapan terima kasih karena perut sudah kenyang dan bisa membayar seikhlasnya...(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI