Perempuan itu dengan ramah menyebutkan menu yang tersedia. Dengan sigap ia menata nasi rempah, oseng salak, pindang cabe ijo ke piring Ibu Negara.
"Pakai krupuk atau tidak? Minumnya ada teh rempah, silakan menuang sendiri. Kalau menginginkan kopi, nanti saya buatkan," ujar Mbak Atik.
Seandainya kita menginginkan krupuk, maka akan diambilkan Mbak Atik. Pesanan kopi pun diantarkan dalam waktu  tidak lama. Jangan berharap ada daftar menu beserta harga seperti umumnya di warung makan.Â
Menu yang tersedia bisa  dilihat  langsung di etalase pelayanan. Di wadah dalam etalase tertulis menu yang tersedia. Jangankan daftar menu dan harga, di sini  juga tidak ada meja kasir pembayaran. Hanya ada kotak bertuliskan "Ojo lali  bayar di sini seikhlasnya".
"Lali itu merupakan gabungan nama anak saya, Maulana dan Lintang. Makna ngopi sejatinya ngolah pikir. Nah, yen lali ngolah pikir, mampirlah ke Kopi Lali, kita bisa sharing tentang apa saja yang baik-baik," ujar Pak Jarwo hangat saat menemani kami ngobrol.
Lali bisa juga dibaca sebagai lila, lilahitaala, bermakna  ikhlas. Itu yang menjadi corporete culture bagi  Kopi Lali.
"Setiap warung tutup jam tiga sore, saya keliling, membaca satu per satu tulisan dalam bingkai itu. Sudah sampai dimanakah diri saya? Kalau saya masih seperti yang kemarin, saya rugi. Jadi harus ada kebaikan berkelanjutan," jawabnya sambil tersenyum lebar.
Nikmatnya masakan rumahan dan hangatnya suasana di dalamnya, membuat pelanggan bahagia, lupa mengenai keluhan hidup.