Hari itu momen yang tak terduga dan tak kau harapkan datang juga akankah menjadi alasanmu meski aku tak yakin, untuk menjauhi gurun pasir itu aku yakin itu tak kan mudah bagimu
karena aku selalu menjadi angin untuk bertiup kemana langkahmu. dengan alasan membayangkan itu sebagai ketika 'aku memuisikanmu', maka peristiwa lalu yang sejekap bisa kau syairkan dengan luar biasa mendayu haru biru bagai kelana kehausan di padang pasir
Meskipun mengaku tidak pernah ikut kompetisi baca puisi, kenyataannya ia dengan cepat mengetahui tone (suasana) puisi "Aku Tetap di Sini". Sejak membaca tiga baris pertama, penonton terdiam kagum.
Guru Tata Kecantikan di SMK Negeri 3 Magelang itu, ternyata dengan cepat mampu memahami makna dan menghidupkan suasana yang dikandung puisi "Aku Tetap di Sini". Â Artinya, ia cepat menangkap tema, perasaan, dan pesan penyair. Hal ini memungkinkannya memainkan nada, irama, speed dalam pembacaan (menyampaikan pesan) sehingga mengaduk-aduk emosi audience.Â
Keberhasilannya memainkan jeda dan tempo pembacaan  demi mencapai puncak dramatik (klimaks pembacaan), patut diacungi jempol.
Napas audience tercekat seakan tidak ingin kehilangan momen puitik pembacaan puisi yang dilakukan Ummi Azzura, perempuan dengan karya puisi yang termuat dalam Antologi Puisi Penyair Lima kota (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Kampungan (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), dan beberapa antologi lainnya.
"Bagi saya, pembacaan puisi tidak harus banyak gerakan, berpegang pada gesture.  Tapi pertaruhannya lebih kepada bagaimana memainkan ekspresi dan intonasi yang dalam. Sehingga  mampu menggambarkan isi puisi saat dibacakan," ujar Ummi usai tampil di panggung.
Apa yang dipertontonkan Ummi Azzura, berbeda dengan pembacaan puisi "Balada Geblek Hasta" yang dilakukan Krishna Mihardja. Pensiunan guru Matematika sekaligus sastrawan ini sudah mempersiapkan diri dengan serius sehari sebelum acara di Museum Sandi.
Ketika tanah kering adalah ketakutan ketika bukit-bukit putih adalah harapan pudar ketika pohon-pohon adalah kegelisahan ketika bebatuan hitam adalah kematian dan gundala sasra menggelegar
aku bangkit
aku bangkit dari saripati bumi Menoreh
akulah anak bajang yang terlantar, terhimpit cadas bebatuan berjuta mata tak ramah menatapku teronggok kesepian di pojok hiruk-pikuk kemewahan kemewahan semu manusia bingung tangannya luput meraih, kaki menggantung
akulah anak bajang terlindas roda peradaban jaman, yang menatap ke barat hilang kiblat, nanar gemetar dan aku di sini
berdiri bukan tanpa arti
Lelaki kelahiran Pirakbulus, Godean, membaca puisi dengan lebih menggebu,  memberi tekanan pada rima, repetisi, dan  intonasi. Dengan cara begitu, maka suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh  memancarkan  emosi yang terkandung dalam puisi.