Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Antara Kotabaru dan Titik Nol Kilometer Yogyakarta

16 Maret 2024   17:04 Diperbarui: 16 Maret 2024   17:08 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ornamen Masjid Gedhe Kauman/Foto: Hermard

Pepohonan yang rindang di bagian depan bangunan mendominasi halaman rumah dan ruang-ruang tepi jalan. Sampai saat ini jejak itu masih bisa kita temukan dengan sebaran pepohonan rindang  menghiasi jalan melingkar sepanjang Kotabaru. 

Sebagai kota yang dirancang dengan baik, keberadaan Kotabaru dilengkapi  berbagai sarana dan fasilitas transportasi (stasiun Lempuyangan), kesehatan (rumah sakit DKT) , tempat ibadah (masjid Syuhada), tempat olah raga (Kridosono), dan fasilitas pendidikan (SMP Negeri 5 dan SMA Negeri 3).

Gramedia/Foto: Hermard
Gramedia/Foto: Hermard
Ngabuburit di Kotabaru bisa saja kita awali dengan membaca-baca buku di Gramedia, selatan perempatan Korem. Puas membaca dan memilih buku, membeli alat tulis, dilanjutkan menyusuri Jalan Suroto yang membentang di sisi timur Gramedia. 

Di jalan ini dan berbagai jalan yang melingkari Kotabaru, bangunan-bangunan lama akan memanjakan mata. Keelokan arsitektur kolonial Belanda/Indische terjaga dengan baik, meskipun beberapa bangunan telah berubah fungsi sebagai area komersial (tempat usaha).

Kondisi itu tercipta karena Kotabaru ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, tertuang dalam Perda DIY No. 6 Tahun 2012, Tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, bahwa panduan arsitektur bangunan baru pada kawasan Cagar Budaya Kotabaru ditetapkan memakai gaya arsitektur Indis dan Kolonial.

Ornamen Naga/Foto: Tribun Jogja
Ornamen Naga/Foto: Tribun Jogja

Nuansa Bali Kotabaru/Foto: dokpri Hermard
Nuansa Bali Kotabaru/Foto: dokpri Hermard
Jalan Suroto juga dimanfaatkan sebagai media luar ruang yang menggambarkan toleransi masyarakat Yogyakarta.  Saat Imlek, misalnya, ruas Jalan Suroto dihiasi dengan ornamen imlek berupa benda seni ornamen berujud naga. Begitu saat Nyepi, jalan tersebut disulap bernuansa Bali.

Di ujung selatan Jalan Suroto, dengan berjalan kaki, kita bisa berbelok ke kanan menyusuri gedung SMA Negeri 3. Di sudut lapangan, kita akan mendapati bangunan  gardu listrik  (Babon Aniem),     dibangun Belanda sebagai tempat mengatur dan membagi daya listrik  kawasan Kotabaru. 

Babon Aniem selalu berubah wajah/Foto: dokpri Hermard
Babon Aniem selalu berubah wajah/Foto: dokpri Hermard
Didirikan sekitar tahun 1918 oleh perusahaan penyedia listrik swasta Algemene Nederlandsch Indische Electrisch Maatscapij (Aniem). Bangunan ini sekarang tampil terawat dengan dilengkapi keterangan mengenai bangunan bersejarah tersebut.

Beberapa tahun silam bangunan ini sering berganti wajah dengan  mural (grafiti) yang dibuat  para seniman dalam proyek mural Jogja.

Dari sini kita bisa lurus ke barat dan akan bertemu dengan masjid Syuhada. Tapi karena belum waktunya berbuka puasa, kita akan berjalan ke arah utara menyusuri tepian kali (sungai) Code. 

Angkringan Code/Foto: Mojok.co
Angkringan Code/Foto: Mojok.co
Nah di sinilah kita akan memesan menu buka puasa di lapak-lapak/angkringan sepanjang trotoar kali Code sambil lesehan memandangi keindahan gunung Merapi atau melihat dari atas kesibukan   masyarakat di bantaran kali Code.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun