Pernahkan Anda merasakan sensasi menikmati makanan tradisional sambil menyaksikan proses pembuatannya secara langsung? Terlebih makanan itu dimasak  menggunakan peralatan tradisional menyerupai wajan kecil terbuat dari tanah liat?Â
Kalau memang belum pernah merasakan sensasi itu, cobalah sesekali mampir ke warung  serabi Notoayu di Jalan Purbaya, utara pasar Cebongan, Sumberadi, Sleman, Yogyakarta.Â
Kedatangan pelanggan selalu disambut keramahan  Bu Sumarmi alias Mamik (53) dan Pak Sarwiyono (58) yang  setia menjaga warung persis  di depan SD Negeri Gabahan.
"Mangga Bu, Pak, pinarak lebet- silakan Bu, Pak, duduk di dalam," sambut  Bu Mamik saat saya bersama ibu negara Omah Ampiran singgah mencari buah tangan.Â
"Mangga dikedapi, saestu. Sinambi nenggo. Mboten dietang, kagem peseduluran --Â silakan dicicipi, sambil menunggu, tak perlu dibayar, sebagai tanda persaudaraan," pinta Bu Mamik.
Keramahan mereka berdua bukan basa-basi. Bahkan Pak Sarwiyono  dengan sungguh-sungguh berharap agar pelanggan bersedia mencicipi serabi buatannya.Â
"Mangga Pak diicipi. Saestu-mari Pak dicicipi, jangan sungkan," desak Pak Sarwiyono.Â
Tentu saja saya tak mampu menolak tawaran ketiga kalinya. Bu Mamik menyodorkan  serabi rasa orisinal dengan aroma wangi pandan  yang kemudian diletakan di potongan daun pisang. Rasa manis gurihnya begitu nikmat.Â
Serabi original tidak memakai tambahan apa pun dalam proses pembuatannya. Meskipun memiliki tekstur  padat, namun tetap terasa lembut dalam gigitan.
Menurut cerita, serabi merupakan jajanan tradisional Indonesia.  Diperkirakan sudah dikenal sejak zaman kerajaan Mataram. Keberadaan serabi tersurat dalam Serat Centhini karya pujangga keraton Surakarta  tahun 1814-1823 atas perintah Pakubuwana V.
Setelah matang, serabi digulung menggunakan daun pisang. Dulu hanya dikenal serabi polosan (original). Sekarang, serabi tampil dengan berbagai varian toping. Â
Warung serabi Notoayu  dirintis sejak tahun 2017. Sebelum itu,  berbagai usaha dilakoni pasangan suami isteri Sarwiyono: jualan pecel lele, buka konter HP, dan lainnya. Setelah semua gagal, anak menantu yang pernah bekerja sebagai kasir di toko serabi Solo, mengusulkan  membuka usaha rumahan serabi tradisional Solo.Â
Pasangan suami isteri itu lalu mengontrak ruang usaha di utara pasar Cebongan. Ruang usaha yang dipakai sekarang ini merupakan kontrakan baru, tidak jauh dari tempat yang lama. Usaha ini sekaligus merupakan cara agar  Sarwiyono  terus bergerak sebagai terapi agar tidak nglokro dengan penyakit syaraf kejepit yang sudah dideritanya selama sembilan tahun.
"Bapak yang mempunyai semangat terus berjualan. Bahkan terkadang tidak mau dibantu. Inginnya mengerjakan segala sesuatu sendirian," jelas Bu Mamik.
Awalnya hanya memproduksi serabi dengan dua sampai tiga kilo beras. Sekarang rata-rata tujuh sanpai sembilan kilo dalam sehari. Pada akhir pekan selalu ramai pembeli. Tersedia enam varian rasa: original, keju, cokelat, kacang, gula aren, dan oreo. Harga per dus antara lima belas sampai dua puluh ribu rupiah.Â
Tak heran jika usaha serabi tradisional Solo yang dikerjakan bersama anak menantunya sudah membuka cabang di Jalan Kaliurang, Godean, dan Condongcatur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI