Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Landung Simatupang: Seni Kontemporer dan Tradisi Jawa yang Melebur

29 Maret 2023   12:58 Diperbarui: 30 Maret 2023   21:44 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
In Action/Foto: Hermard

Perjalanannya dalam dunia panggung tidak lepas dari dunia sastra yang dikenalnya sejak kanak-kanak melalui buku-buku koleksi ayahnya, Josef Polin Simatupang, merupakan guru sastra Indonesia, bahasa Indonesia, bahasa Jerman, bahasa Belanda, dan seni suara di SMA de Britto, Yogyakarta. Oleh ayahnya, ia sering diajak menyaksikan pertunjukan drama, salah satunya  dimainkan oleh Bengkel Teater pimpinan Rendra.

Lahir di Yogyakarta, 25 November 1951. Bernama lengkap Yohanes Rusyanto Landung Laksono Simatuandung Simatupang. Ia alumnus Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Ia juga banyak memperoleh pengalaman mengenai pertunjukan dari ibunya, Floriberta Sumardiyati. 

Bersama ibunya, sering diajak menonton pertunjukan wayang Ngesti Pendawa dan Cipto Kawedar, dan kadang ke nDalem Notoyudan untuk melihat pertunjukan ketoprak maupun karawitan. Dari garis ibunya, leluhur Landung (eyang canggah kakung dan eyang buyut putri) merupakan penari Kraton Yogyakarta yang tinggal di lingkungan kraton. Kakeknya hingga akhir 1950-an dikenal di kawasan Tempel, Yogyakarta sebagai lurah desa yang menjelma tokoh Bagong dalam pergelaran wayang orang.

Oleh ayahnya, Landung sering diajak menonton pertunjukan drama Sri Murtono, Rendra, Harymawan, Jasso Winarto, nonton konser musik, dan paduan suara. Buku-buku ayahnya juga membuat Landung tumbuh dengan ilmu pengetahuan sastra yang tak dimiliki oleh teman sebayanya. 

Kehidupan seni kontemporer, modern, dan tradisi Jawa menyatu dalam diri penyair yang sekaligus aktor kawakan Yogyakarta ini.


Undangan Pertunjukan/Foto: Hermard
Undangan Pertunjukan/Foto: Hermard
la  mendapat penghargaan juara I Lomba Deklamasi se-DIY tahun 1971 untuk memperingati Chairil Anwar dan menerima piala Wakil Gubernur DIY, Sri Pakualam VIII. Setelah itu ia pun mulai memublikasikan puisi-puisinya ke media massa. 

Proses kepenyairannya ditandai dengan dimuatnya puisi "Malam 1" dan "Malam 2" di Kompas tahun 1972. Selain itu puisi-puisinya banyak dimuat di Majalah Kebudayaan Basis, Majalah Sastra Horison, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, dan Bernas. 

Tahun 1979, sajaknya "Langkah Tak Berhenti" menjuarai lomba cipta puisi se-DIY. Dan pada tahun 1986 menerbitkan kumpulan puisi Asap dan Angin yang dibacakan di Pusat Kebudayaan Indonesia- Belanda, Karta Pustaka. Kumpulan puisinya, Sambil Jalan terbit tahun 1999.

Di bangku kuliah bergabung dengan Teater Gadjah Mada dan kemudian bergabung dengan Teater STEMKA di antara tahun 1974 hingga 1988 dan menyutradarai lakon Hai yang di Luar itu karya William Saroyan. Terlibat dalam pertunjukan dengan Black Swan Theater Company dari Perth, Australia dalam acara Pesta Seni Internasional, Festival of Perth 1999, sebagai aktor dan penerjemah bahasa Jawa-Inggris untuk sekuen-sekuen wayang kulit, dalam penyutradaraan Andrew Ross. 

Selain sebagai aktor panggung, ia juga menyutradarai pertunjukan Teater STEMKA antara lain meliputi lakon Kapai Kapai (Arifin C. Noer), Thengul (Arifin C. Noer), Anggun Nan Tongga (Wisran Hadi), Malam Jahanam (Motinggo Boesje), Impian Para Tawanan (Christopher Saroyan), Pembunuhan di Katedral (T.S. Eliot), Penyakit Sakit (Moliere), Pangeran Monte (Alexander Dumas), dan Yerma (F. Garcia Lorca). 

Bersama kelompok lainnya, Landung menyutradarai Endgame karya Samuel Beckett di Teater Garasi, berkolaborasi dengan Yudi Ahmad Tajudin. Pertunjukan Endgame dilakukan dari Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Jakarta di antara 1999 hingga 2000. 

Menyutradarai Montserrat (1978) karya Emmanuel Robbles, Sri Ratu/Ratu Pemberontak (1991) dari Betti, dan Pesta Pencuri (2000) karya John Anuilh. Tidak hanya itu, ia juga menulis lakon berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami berkolaborasi dengan Seno Gumira Adjidarma, dan telah dipentaskan dengan durasi 75 menit hasil kolaborasi dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan Kontras. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun