Bagaimana kalau dua tokoh beda generasi ada dalam satu panggung? Terlebih keduanya merupakan tokoh idola masyarakat Jawa Tengah, yaitu Kang Tohari (Ahmad Tohari) dan Bandung Mawardi. Kehadiran keduanya di atas panggung  begitu dielu-elukan peserta dan tamu undangan penyerahan penghargaan bahasa dan sastra Prasidatama 2017. Untungnya mereka tidak saling sindir dalam guyonan.
Malam di Simpang Lima
Tanggal 27 November 2017, Â bersama Mas Tirto Suwondo (Kepala Balai Bahasa Jateng) dan Mas Agus Leyloor Prasetya (dosen ISI Yogyakarta) malam-malam kami ke stasiun kereta api Poncol, Semarang, menjemput Pak Ahmad Tohari.Â
Beliau akan menyampaikan orasi budaya dalam acara Prasidatama, penghargaan bahasa dan sastra Balai Bahasa Jawa Tengah. Acara penghargaan Prasidatama dilangsungkan tanggal 28 November 2017 di Auditorium RRI Kota Semarang.
Setelah berada dalam mobil kami berbincang ngalor-ngidul.
"Pak Tohari ngersakake dhahar menapa?" tanya Mas Tirto.
"Waduh sudah malam, Mas. Apa tidak merepotkan?"
"Kita semua belum makan Pak. Kita sengaja ingin menikmati makan malam bersama," sela Mas Agus.
"Anu ya Mas. Sekarang saya sudah tua. Jadi makannya jangan yang keras-keras," pinta Pak Ahmad Tohari.
Tak lama kemudian mobil mengarah ke Simpang Lima.
"Kita makan di sini saja Kang, banyak pilihannya," jelas Mas Tirto.
Di meja makan Simpang Lima, pembicaraan terus mengalir mengenai Ronggeng Dukuh Paruk versi Bamyumasan, kehidupan sastra di Jawa Tengah, dan persoalan seputar kebudayaan.
"Mengapa Kang Tohari menghadirkan tokoh-tokoh wong cilik dalam karya sastra?" tanya saya sambil lalu.
"Wong cilik itu dapat menerima kenyataan dengan ikhlas dan sabar dalam menghadapi hidup," jelas Tohari.
Malam terus bergulir. Sehabis makan kami bergegas menuju hotel mengantar Kang Tohari.
Penghargaan Prasidatama
Sastra Indonesia Menagih Janji", tokoh yang senang disapa "Kang" ini mengawali pidatonya dengan memuji Bandung Mawardi, anak muda penggerak sastra yang tinggal di Solo.
Di Auditorium  RRI Kota Semarang, tanggal 28 November 2017, saat pembawa acara Penyerahan Penghargaan Prasidatama mempersilakan Kang Ahmad Tohari naik panggung untuk menyampaikan orasi budaya "Bahasa dan"Saya senang kenal dengan Bandung Mawardi. Tulisannya menarik perhatian, kritis, inspiratif, meskipun terkadang nakal. Untung saya diminta naik panggung setelah Bandung. Kalau tidak, saya pasti sudah habis..." ujar Kang Tohari disambut tawa hadirin yang memenuhi Auditorium  RRI Kota Semarang
puisi Merawat Kebinekaan, berisi puisi-puisi penyair Jawa Tengah. Ia naik ke atas panggung penuh percaya diri, cuek, lugu, spontan, dan atraktif.
Sebelumnya, Bandung Mawardi, sosok sederhana yang mengaku bukan pejabat dan akademisi, tampil memukau  saat ia diminta mengkritisi antologi"Aku yakin kebanyakan puisi dalam antologi ini adalah puisi atlas karena temanya berkaitan dengan kebinekaan. Lalu banyak penyair menulis mengenai beribu pulau, beraneka suku bangsa, beragam budaya. Lha kalau seperti ini yang ditulis, semua orang sudah mengerti. Lalu untuk apa kita tulis? Lebih aneh lagi, urusan puisi kok dikaitkan dengan Permendikbud," guyonan ini langsung disambut tawa lepas para sastrawan yang menyimak setiap perkataan Bandung yang terkadang terasa konyol, naif, sekaligus cerdas.
"Ini apa lagi, pasti penulis puisi "Mau Makan Agama Apa" tidak mengikuti perkembangan di Indonesia. Tidak tahu kalau aliran kepercayaan sudah diakui oleh pemerintah. Jadi judul puisi ini sebaiknya diganti dengan "Mau Makan Agama dan Kepercayaan Apa". Ini kalau kita mau mengakui kebinekaan..." selorohnya dan sejurus kemudian terdengan tawa hadirin menyambut pemikiran kritis Bandung Mawardi, penerima Penghargaan Prasidatama 2017 katagori penggiat bahasa dan sastra Indonesia . (Herry Mardianto)