Sewaktu harus pindah rumah, hal pertama yang terpikirkan adalah mengenai nasib koleksi  buku yang jumlahnya begitu banyak. Buku membuat pusing tujuh keliling karena saya dan keluarga berpindah ke rumah berukuran lebih kecil dan tidak mungkin dijejali ratusan buku.
"Bapak dan ibu harus mengubah mindset. Besok rumahnya sempit, minimalis. Tak usah nyusuh. Buang barang yang tak penting, lupakan kenangan," begitu pesan anak pertama, Keke, yang didukung adik-adiknya.
Tentu, sebagai kutu buku dan suka membeli buku, tak mungkin bisa membuang buku-buku dengan mudah. Ini semacam buah simalakama. Kalau semua buku dibawa, tak tahu harus ditaruh dimana. Jika ditinggal atau dibuang, jelas akan kehilangan referensi.Â
Begitu juga dengan beberapa barang antik, tak cocok dengan hunian berkonsep modern. Lhadallah! Puyeng Pak Eko!
Jalan terbaik adalah dengan berbagi ilmu. Buku saya pilah-pilah yang benar-benar tidak terpakai disendirikan. Buku pengetahuan umum, politik, sastra budaya, psikologi, sejarah, majalah, saya seleksi secara ketat yang akan dibawa pindahan, sisanya dimasukan ke beberapa kardus besar.Â
Ada juga yang sengaja saya tumpuk dan diikat tali rafia. Di bagian atas ditulisi untuk TBM ini itu. Ratusan buku dalam kardus saya potret dan tayang di media sosial dengan catatan bagi yang berminat mohon mengambil ke rumah, tidak melayani pengiriman. Tak berapa lama kemudian beberapa teman datang memilih buku-buku yang masih layak dan diperlukan, termasuk majalah sastra Horison dan Basis.Â
Setelah sebulan lebih aksi berbagi buku berlangsung, ternyata masih tersisa dua kardus besar. Tak ada cara lain untuk membereskannya kecuali dengan memanggil tukang rombeng!
Tentu tidak semua buka lawas saya lepas. Terlebih buku pemberian sebagai tali silaturahmi. Buku-buku itu tetap saya pertahankan karena memang unik, bisa dipakai sebagai referensi unggulan, memiliki topik menarik yang akan memberi wawasan sepanjang masa.
Buku Kedjantanan di Sumbing menjadi penting karena memuat tujuh cerita pendek Subagio Sastrowardojo, salah satu sastrawan terkemuka Indonesia. Cerpen "Kejantanan di Sumbing" tidak dapat dilepaskan dari sejarah sastra Indonesia.Â
Antologi cerpen yang diterbitkan oleh PT Pembangunan Djakarta, tahun 1965, merupakan buku seri PEM dengan nomor kode D 38. Buku seri PEM merupakan buku yang ditulis oleh pengarang terkenal, baik dari Indonesia maupun luar negeri dengan kualitas buku terjamin.Â
Dalam seri PEM D 38, hadir pula buku Mutiara (John Steinbeck, D 1), Biarlah Badai Mengamuk (Rose Wilder Lane, M 9), Kembali ke Alam Bebas (Jack London, U 23), Empat Kumpulan Sadjak (WS Rendra, D 34).Â
Kode-kode huruf yang dilekatkan pada buku-buku seri PEM, menunjukkan segmentasi pembaca yang dituju. PEM D ditujukan untuk orang dewasa, PEM M untuk muda-mudi, dan PEM U untuk umum: tua, muda, dan dewasa.
Buku yang terbit terlebih dahulu adalah Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Buku karya Teeuw ini merupakan cetakan kedua, tahun 1953, diterbitkan Jajasan Pembangunan Djakarta.Â
Buku dengan hard cover merupakan seri Pustaka Sardjana, pernah menjadi buku suci bagi mahasiswa sastra Indonesia UGM tahun 1980-an. Saat itu, buku setebal 253 halaman ini sulit didapatkan.Â
Keunikan buku Pokok dan Tokoh ternyata tidak seluruhnya ditulis oleh Teeuw. Ada bagian penting merupakan sumbangan dari R. Roolvink mengenai "Roman Picisan" (dalam sastra Indonesia).
Buku terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama membicarakan kesusastraan sebelum 1942. Sedangkan bagian kedua berisi pembahasan mengenai kesusastraan setelah 1942.Â
Hal menarik, sesungguhnya buku tersebut merupakan terjemahan dari buku Voltooid Voorspel, Indonesische Literatuur tussen twee Wereldoorlogen (Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1950)-diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anku Raihul Amar gelar Datuk Besar- dan baru pada cetakan kedua ditambahkan tulisan R. Roolvink mengenai roman picisan di Indonesia.Â
Karangan itu telah terlebih dahulu diterbitkan dalam bahasa Belanda untuk "Bingkisan Budi, een bundel Opstellen, aan Dr Ph.S. van Ronkel door vrienden en leerlingen aangeboden op zijn tachtigste verjaardag 1 Agustus 1950" (Leiden, 1950).
Buku ketiga yang tetap saya openi, di samping puluhan buku lainnya adalah Profesi Wong Cilik: Spiritualisme Pekerja Tradisional di Jawa. Buku yang dipersiapkan penulisnya, Iman Budhi Santosa, selama tujuh tahun (sejak tahun 1993 dan diterbitkan oleh Yayasan Untuk Indonesia tahun 1999).
Pengamatan mengenai spiritualisme pekerja tradisional di Jawa, dilakukan penulis selama ia bekerja dan hidup di perkebunan/pedesaan tahun 1970-an.Â
Buku karya IBS menjadi berharga karena dapat dijadikan pegangan agar masyarakat modern, utamanya generasi milenial, mampu menghargai akar budaya wong cilik yang telah memberikan andil dalam pembangunan peradaban bangsa ini.
Hal tersebut setidaknya sejalan dengan catatan penulis bahwa pergeseran nilai sosial budaya, ekonomi, politik, telah memporakporandakan sejumlah besar nilai-nilai tradisional yang dulu merupakan simpul-simpul kekuatan yang mengantarkan masyarakat mencapai survive dari waktu ke waktu.Â
Boleh jadi, bentuk mata pencarian tadisional seperti tukang pangur, pengamen ledhek kethek, tukang patri, akan sulit ditemukan lagi karena tergantikan oleh pekerjaan pemulung sampai operator komputer dan pembuat konten/kreator.
Berbagai istilah berkaitan dengan pekeejaan tradisional akan kita temui dalam buku ini: pemikat perkutut, waranggono, delog, gendhala sabda, pidak pedarakan, janjangan, bong supit, besalen, paju, blandong.Â
Kesemuanya bermuara pada spritualisme wong cilik: mbalung sungsum, ana sethithik dipangan sethithik dengan ajian mulur mungkret dan sumangga kersa.
Paco-paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota di Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota karya Freek Colombijn, diterbitkan oleh Penerbit Ombak (Yogyakarta, 2006).Â
Kehebatan buku ini karena setelah lebih dari dua puluh tahun edisi bahasa Inggris diterbitkan (1991) dan setelah puluhan tahun tidak beredar lagi, tiba-tiba diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Lili Rahmaini dkk.Â
Secara semiotik, buku ini mencerminkan persatuan berbangsa: materi pembicaraan mengenai kota Padang, diterbitkan oleh penerbit di Yogyakarta.
Buku tersebut memberi penjelasan sangat memadai mengenai kota Padang. Meskipun ditulis lebih dari tiga puluh tahun lalu, namun masih sangat relevan untuk memberikan perspektif persoalan kota Padang dewasa ini.
Isi buku membicarakan kemajemukan masyarakat kolonial, zaman kekacauan 1942-1971, perubahan struktur morfologi kota, perencanaan kota dan pekerjaan infrastruktur, sampai penggunaan ruang secara simbolik.
Kehebatan lain karena buku  dilengkapi dengan daftar tabel berkaitan susunan suku di Padang, 1979-1980; harga lahan di Padang; lokasi dan ranah kekuasaan simbol-simbol perkotaan. Terdapat pula daftar peta, daftar grafik, dan indeks.
Pada akhirnya, buku-buku lawas di atas tetap bermanfaat dalam mengembangkan wawasan dan mengenang masa lalu.Â
Merka tak lekang oleh waktu...