Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Berharap pada Kebaikan Sandiaga Uno

18 Maret 2017   18:27 Diperbarui: 18 Maret 2017   18:55 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berharap pada kebaikan Sandiaga Uno, tema tepat untuk pembahasan kali ini. Semoga saja, pilkada kali ini tidak membawa spirit enterpreuner-nya berkaitan dengan modal dan penghasilan yang akan diperoleh. Seperti diberitakan, hampir 97% dana kampanye pasangan Anies Sandi berasal dari milik pribadinya Sandiaga Solahudin Uno atau biasa dikenal Sandiaga Uno. Ya, dari 65,3 M dana Kampanye, hanya 2 M berasal dari iuran partai dan juga sumbangan swasta. Selebihnya 63,3 M berasal dari pasangan calon. Dan kita bisa menebak, berapa kira kira dikeluarkan oleh Sandiaga, hampir seluruhnya. Anies bisa dipastikan tidak banyak keluar modal di sini. Sedangkan untuk putaran II, Sandiaga Uno menggelontorkan lagi uang sebesar 7 M. Nah, dengan pengeluaran 70 M lebih inilah, kita sungguh sungguh berharap pada kebaikan Sandiaga Uno. Pasalnya, gaji wakil gurbernur Jakarta ternyata tidak lebih dari 10 Juta rupiah. Katakanlah 10 Juta saja, maka 70 M itu tidak akan tertutup selama masa jabatan. Padahal, prinsip ekonomi berlaku: dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya. 

Bayangkan kalau itu yang digunakan, betapa besar potensi korupsi yang akan terjadi nantinya? Menang atau kalah, kita tetap membutuhkan kebesaran hati Sandiaga. Hal ini memang agak berbeda dengan pengumpulan dana kampanye Ahok Djarot yang terkumpul 60M dari patungan bersama pendukungnya yang kalau tidak ditutup akan terus mengalir. Memang kemudian menarik juga bahwa sisa dana kampanye Ahok Djarot diserahkan kepada negara, sedangkan sisa dana kampanye putaran pertama Anies Sandi akan digunakan untuk kepentingan kampanye berikutnya. Hal yang wajar karena Ahok Djarot hanya mengelola sumbangan dari para pendukungnya, sedangkan Anies mengelola dana pribadi. Ya iyalah, duit orang (meskipun banyak yang ga rela untuk tidak jadi milik pribadi) tetap lebih 'ringan' untuk diserahkan kepada negara dibandingkan dengan uang pribadi yang jumlahnya besar.

Dari situ saja sebenarnya kelihatan siapa yang ngotot pengen jadi Gurbernur dan siapa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yang ngotot jelas yang berjuang dengan sekuat tenaga dan semampu membayar alias membeayai, sedangkan yang dibutuhkan yang bisa menggalang dana dari para pendukungnya. Kalau lo dukung gue, lo modal dong!!! hehehee

Okelah saya tidak akan masuk ke sana, saya mau fokus ke Sandiaga. Dan sekali lagi pengharapan akan kebaikan Sandiaga. Mari kita lihat pertama tama, dari keinginan Sandiaga untuk jadi Gurbernur. Saya yakin seyakin-yakinnya, Sandiaga dijagokan karena uangnya banyak. Itu saja dulu. Sebagai seorang pengusaha, kita tahu Sandiaga sukses besar, termasuk membuat training training kewirausahaan. Tapi, politik, meskipun sama sama kejam, tetaplah berbeda dengan enterpreuner. Dalam enterpreuner, orientasinya jelas: keuntungan. sedangkan dalam politik, sering sering orientasinya bias. 

Amanah? Ekonomi? eksistensi diri? Pengabdian? tidak jelas. Yang jelas, majunya Sandiaga Uno adalah sebagai sumber keuangan partai. dan kita tahu, karena keuangannyalah kemudian sandiaga mampu menggeser prestasi politik Yusril. Lulung, dan Adyaksa Dault. Padahal dari segi politik dan juga kariernya, orang orang ini jelas jauh lebih potensial dibandingkan dengan Sandiaga. Apa kuncinya? bukan prestasi politik, bukan kecerdasan akademik, tapi uangnya. Ya, seperti kita maklumlah, orang orang Jakarta malas atau sudah muak dengan profil profil lama yang berkecimpung di bidang politik. Nyatanya mereka tidak mampu membuat perubahan apa apa. Maka, ketika kemudian Gerindra dan PKS mencoba menetapkan Sandiaga dan Mardani Ali sebagi pasangan sementara, mereka seperti terjun bebas. Mereka seperti sedang bunuh diri sampai ditinggalkan oleh para partai pendukungnya.

Demikian juga Demokrat yang kehabisan stok untuk bisa menantang petahana, diambillah orang orang di luar partai untuk mereka usung. Jadilah kemudian Agus yang konon karier militernya sangat menjanjikan diminta untuk jadi cagub. Sedangkan wakilnya, juga diambil dari non partai Sylviana Murni yang diharapkan bisa menjadi 'tutor' Agus dalam hal birokrasi. Membaca hal itu, buru burulah kemudian Gerindra dan juga PKS ambil sikap, pasangan Sandiaga dan Mardani jelas jelas rendah elektabilitasnya. Maka, diambillah sosok lain yang kira kira mampu untuk menantang petahana. 

Muncullah kemudian Anies Baswedan. Seakan tak peduli bahwa Anies dulu sempat mengkritik Prabowo habis habisan, rupanya politik itu juga penuh dengan spirit pengampunan, spirit rekonsiliasi. yang sudah ya sudah, mari kita bangun masa depan bersama. Hebatnya lagi, ketidakberdayaan Partai Gerindra justru hanya menempatkan Sandiaga sebagai wakil. Sekali lagi, peran Sandiaga terbaca di sini, sebagai penyandang dana. Entah apapun bahasanya Sandiaga tetap diperlukan di bidang keuangan. Petahana yang hampir hampir tanpa tanding, berhadapan dengan 2 kandidat yang pasti akan membuat suara orang orang yang tidak menyukai petahana, terbelah.

Permainan dimulai dengan 'lebaran kuda' SBY. Adanya dugaan kasus penistaan agama, membuat suara Ahok tetap terjun bebas. Namun, demikian tetap saja banyak yang melihat bahwa nuansa ini bukan murni lagi hukum, tapi permainan menuju lebaran kuda, Ahok tetap memiliki banyak pendukung. Menyusul adanya demo besar besaran kepada Ahok sebagai penista agama, kemudian Ahok ditetapkan menjadi tersangka. Penetapan inipun sebenarnya lebih terlihat karena desakan massa. Ahok, berdasarkan pertimbangan kuasa hukumnya kemudian tidak mengajukan praperadilan. Ini menarik, seorang calon gurbernur secara hukum sangat terbuka statusnya sebagai tersangka dibatalkan, memilih untuk melanjutkan proses hukumnya. 

Pasti ada pertimbangan tertentu yang menarik di sini. Dan benar saja, ketika proses hukum dimulai maka saksi demi saksi penuntut yang dihadirkan lebih tampil seperti pelawak saja. Berkas perkaranya sangat tidak cermat, mulai dari fitza hats sampai advokat gadungan terkuak di situ. Saksi saksi ahli juga tidak bisa meyakinkan kalau dihadapkan pada asas hukum yang berlaku. Ketika mengajukan gugatan mereka tampak garang, tapi ketika dimintai kesaksian mereka seperti impoten, letoy sampai terpaksa ditunda dan diganti. Bahkan, kini 10 dari 14 JPU merasa kesulitan untuk membuktikan kesalahan Ahok. padahal kesaksian ahli yang meringankan Ahok belum selesai.

Maka, dinamika politik menjadi seru. Di awal, prediksinya Agus punya suara terendah sebagai pendatang baru, baru kemudian menyusul Anies Sandi, dan jelas analisa pemenangnya adalah Ahok Jarot. Dengan kasus di atas, maka hasil survei awal seakan membalikkan logika. Agus-Sylvi selalu menempati urutan teratas, Anies Sandi kedua. Baru bontotnya adalah Ahok Djarot. Baru kemudian setelah persidangan satu demi satu dibuat, dan juga pengaruh debat pilkada, tampak sekali bahwa Ahok Djarotlah yang paling menguasai panggung dan paling ngerti masalah Jakarta. Agus Sylvi yang sejak awal tidak mengerti masalah Jakarta langsung terjun suaranya, Anies naik dan Ahok berhasil menyaingi keduanya. Baru kemudian, setelah pilkada putaran pertama kelihatan bahwa Ahok Djarot tetap memperoleh suara tertinggi, meskipun belum bisa memenangkan satu putaran. Yang jelas Anies dan Sandiaga berkesempatan untuk adu tanding dengan Ahok Djarot.

Kalau Untuk Jakarta Lebih Baik, Ahok Djarot jelas Tak Terkalahkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun