Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghormati Perjuangan LGBT

25 Juli 2015   13:45 Diperbarui: 25 Juli 2015   13:45 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Perjuangan LGBT, gambar dari www.lensaindonesia.com"][/caption]

Seorang dosen kedokteran yang saat ini sedang melanjutkan studinya di Amsterdam mengungkapkan kegelisahannya tentang kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di Indonesia pada saya. Dokter ini menangani juga sebuah Rumah Sakit Islam. Namun demikian, ia sangat memahami bahkan menghormati perjuangan kaum LGBT ini. Dia mengatakan, "mungkin terlalu jauh kalau Indonesia membahas tentang perkawinan sejenis dan LGBT. Saat ini, untuk bisa menunjukkan diri sebagai LGBT saja sangat susah di Indonesia. Apalagi menuntut legalisasi perkawinan sejenis. Yang dibutuhkan adalah penerimaan dulu saja bahwa kaum semacam ini juga manusia yang memiliki kebutuhan yang sama dengan manusia lain pada umumnya." Ya... ya... ya... saya bisa membayangkan bahwa tidak mungkin seorang gay misalnya bisa terang-terangan membangun relasi di ruang kerja. Kaum semacam ini, secara sosial statusnya hampir bisa disamakan dengan penjahat, seorang kriminal. Padahal yang normal saja sering-sering lebih kriminal daripada yang dianggap liyan ini.

Okelah, saya kemudian akan sedikit mengutip pendapat menteri agama berkaitan dengan LGBT ini. Menurut menteri agama dan politisi PPP ini, “Menurut hemat saya, akan lebih bijak kalau mereka-mereka itu tidak dijauhi, tapi justru kita rangkul, kita ayomi, lalu bangun dialog bersama untuk bagaimana kita mencari nilai-nilai kebajikan dari pemahaman-pemahaman kita yang boleh jadi belum sama.” Persis begitulah saat ini yang terjadi, orang-orang yang istimewa ini seringkali dimusuhi dan tidak mudah diterima. Meskipun baik, sebagai sebuah retorika, namun rupanya diskriminasi itu tetap ada. Misalnya, bagaimana mungkin merangkul mereka kalau negara jelas-jelas menolak dengan alasan moralitas agama? Dan persis, kaum yang merasa beragama sangat kuatlah yang mau memusuhi mereka. Orang-orang yang merasa baik agamanya, merasa punya hak untuk memusuhi mereka yang berbeda dan moralitasnya dianggap tidak baik. Padahal, pemahaman moral sifatnya cenderung subjektif dan relatif. 

Dengan dalih dan dasar agama mereka merasa bisa untuk mengatakan bahwa kaum LGBT ini kaum tidak berotak, kaum yang bodoh dan tidak berfikir, kaum ahli neraka yang sudah dijamin pasti ke sana. Kaum yang dulu pernah dihancurkan Allah pada jaman nabi Luth yang dikenal juga dalam alkitab sebagai peristiwa Sodom dan Gomora. Saya tidak bisa membantahnya dan saya bolehlah percaya dengan apa yang dikatakan agama. Hanya menghadapi kaum ini kemudian kita harus bisa bicara data-data sejarah kalau mau membuat penilaian terhadap mereka. Sayangnya, agama umumnya sangat tertutup dengan data-data sejarah dan arkeologi.

Saya katakan pemahaman moral agama umumnya sangat relatif dan subjektif karena penafsiran moralitas memang sangat berbeda-beda satu sama lain. Katakanlah Kristen, nyatanya sikap agama Kristen terhadap perkawinan sejenis semacam ini juga tidak seragam. Bahkan ada gereja yang melayani pernikahan sejenis seperti gereja episkopal Amerika dan juga gereja Lutheran Swedia. Beberapa waktu lalu, seorang cendekiawan Islam Liberal juga berpendapat sama bahwa perkawinan dan lebih tepatnya percintaan sejenis adalah kodrat biasa, sama dengan percintaan heteroseksual. Gereja Katolik sampai saat ini dengan tegas menolak perkawinan sejenis. Namun demikian, meskipun tidak sampai pada perjuangan untuk disahkan perkawinan sejenis, beberapa pakar moral juga mentolerir adanya percintaan sesama jenis ini.

Kalau hanya berhenti sampai di situ saja, barangkali tidak akan pernah ada titik temu. Faktanya, agama saja tidak bisa dikatakan memadai untuk memberikan argumentasi moral dalam menentang perkawinan sejenis. Apalagi, perkembangan tekhnologi kedokteran dan juga biotekhnologi sedemikian pesat dan menemukan hal-hal yang sangat mencengangkan dan berbeda sama sekali dengan apa yang dikatakan agama. Maka, untuk bisa beragama secara cerdas harus juga membaca dan menganalisa problematika moralnya secara ilmiah. Tanpa itu, agama akan menjadi absurd dan terkesan menjadi musuh peradaban.

Penelitian menunjukkan bahwa pola dasar bagi tubuh dan otak janin manusia adalah betina dalam susunan awalnya, Karena itu, pria memiliki beberapa ciri bagian tubuh wanita, seperti puting susu, Pria juga memiliki kelenjar susu yang tidak berfungsi tetapi masih memiliki potensi untuk mengeluarkan susu. Ada ribuan kasus tercatat tentang narapidana perang pria yang mengeluarkan susu dari putingnya. Saat itu kelaparan yang luar biasa mengakibatkan timbulnya penyakit sehingga hati tidak berfungsi dan mengacaukan hormon yang penting untuk memproduksi susu.

Kemudian, enam hingga delapan minggu setelah pembuahan, sebuah janin jantan (XY) menerima sejumlah besar hormon jantan yang disebut androgen, yang pertama-tama membentuk testes kemudian dosis berikutnya untuk mengubah otak dari susunan otak betina menjadi susunan otak jantan. Jika janin jantan tidak mendapatkan hormon jantan yang mencukupi pada waktu yang tepat, satu dari dua hal mungkin akan terjadi Pertama tama, seorang bayi laki-Iaki mungkin terlahir dengan sebuah susunan otak yang cederung lebih feminin daripada maskulin.
Dengan kata lain, anak laki-laki tersebut sangat mungkin akan menjadi gay pada masa pubertasnya, Kedua, seorang anak laki-laki yang secara grenetis pria namun dengan otak sepenuhnya wanita dan alat kelamin pria. Orang ini akan menjadi transjender. lni adalah seorang yang secara biologis pria tetapi perasaannya sebagai wanita Bahkan kadang-kadang tertahir sebagai seorang pria genetis dengan sepasang alat kelamin pria dan wanita.

Pasalnya, menjadi homoseks bukanlah sebuah pilihan. Menurut Anne Moir seorang pakar genetika, Tidak saja homoseksualitas itu ada sejak lahir, namun lingkungan tempat kita dibesarkan memegang peran lebih kecil dalam pembentukan perilaku kita daripada yang pernah kita kira sebelumnya. Para ilmuwan telah menemukan bahwa sebenarnya tidak ada pengaruh sama sekali usaha yang dilakukan oleh para orangtua untuk menekan kecenderungan homoseksual pada anak remajanya atau anaknya yang sudah dewasa. Penyebab utamanya adalah karena pengaruh hormon pria (atau kekurangan hormon tersebut) pada otak; Maka itu tidaklah heran kalau kebanyakan orang-orang Homoseksual adalah pria.

Karena Homoseksual Bukan Pilihan

Dalam kajian neuropsikologi semacam ini, terlihat bahwa homoseksualitas bukanlah sebuah pilihan. Para pakar di bidang ini umumnya menyetujui bahwa adalah hal yang sangat sulit untuk bisa mengubah orientasi seksual seseorang. Selama berabad-abad, berbagai cara telah digunakan untuk menekan perasaan homoseksual yang dalam ‘penderitaan’ termasuk dengan cara pengamputasian buah dada, pengebirian, terapi obat, pengangkatan rahim, pengoperasian otak depan, terapi kejiwaan, terapi kejut, pertemuan doa konsultasi spiritual dan pengusiran setan dari dalam tubuhnya.
Tidak ada terapi yang pernah berhasil. Hasil terbaik yang pernah mereka capai adalah membuat beberapa orang biseksual yang membatasi kegiatan seksual mereka sehingga mereka hanya melakukan dengan lawan jenisnya atau memaksa kaum homoseksual untuk melajang dengan perasaan dosa dan ketakutan, bahkan mendorong mereka untuk membunuh diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun