Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wajah Ganda Agama: Menyerukan Perdamaian, Membangun Stereotip

30 Januari 2014   10:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:19 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Agama memang paradoks. Berwajah ganda. Di satu sisi mau membawa damai.  Di sisi lain mengklaim diri sebagai yang benar. Pengandaiannya, kalau aku benar, yang lain salah. Inilah sumber stereotip yang dibangun.

Serba salah juga kalau mau mengatakan yang lain juga benar, akan jatuh dalam relativisme iman yang umumnya juga ditentang semua agama. Sebuah agama biasanya muncul sebagai pembaharu atas agama sebelumnya. Dengan demikian, sangat wajar bila relasinya kemudian menjadi tesis anti tesis, di mana agama yang baru umumnya merasa sebagai penyempurna agama sebelumnya. Agama Kristen membangun teologinya sebagai agama pembaharu atau penyempurna bagi agama Yahudi. Agama Yahudi adalah agama yang menantikan datangnya seorang mesias, yang sampai abad ini mereka juga menantikan sosok mesias tersebut. Dua ribu tahun yang lalu, Yesus hidup dan berkarya. Dia mati sebagai martir atas ketidakpuasan beberapa kelompok Yahudi dan pemerintahan karena ajarannya yang berbeda. Oleh para pengikutnya, Yesus ini dianggap sebagai mesias. Sementara bagi orang Yahudi, Yesus tidak memenuhi kriteria sebagai seorang Mesias.

Enam ratus tahun semenjak peristiwa Yesus, di tanah Arab tampillah pembawa agama baru; Islam. Agama ini mengklaim sebagai penyempurna atas agama-agama yang terdahulu tumbuh dan berkembang di Israel. Dengan demikian, agama yang lahir di tanah Arab ini menghubungkan diri dengan agama Yahudi dan Kristen. Bukan hanya sebagai penyempurna, antaranya, anggapan bahwa bukan Ishak yang dikurbankan oleh Abraham, melainkan Ismail. Koreksi bagi kekristenan yang ditampilkan oleh agama Islam adalah bahwa Yesus bukanlah Tuhan, melainkan seorang nabi biasa. Selain itu, menurut Islam, bukan Yesus yang mati terbunuh di kayu salib, melainkan orang yang diserupakan dengan Yesus (beberapa penafsir mengatakan dia adalah Yudas).

Praktis, klaim teologis semacam itu, mau tidak mau memunculkan konflik, bukan hanya superior inferior, melainkan juga stereotip benar salah. Dalam hal ini, istilah yang dimunculkan bisa lebih ekstrim, sesat atau lurus. Contoh lain, kita tahu bahwa dalam agama Hindu yang lahir di India ada sistem kasta yang membagi manusia dalam kasta-kasta tertentu secara kodrati. Agama Buddha kemudian muncul dan menganggap diri sebagai pembaharu atas sistem semacam ini dengan menghilangkan kasta-kasta yang ada.

Dalam kehidupan antar agama, stereotip semacam ini tidak bisa dihindarkan. Dalam arti tertentu, kita akan melihat bagaimana pandangan orang terhadap orang lain yang berbeda agama. Yang mungkin rawan adalah bahwa stereotip agama bukan hanya bersifat kebiasaan, tapi juga penilaian moral. Orang kristen, dengan mengacu pada budaya Barat dianggap kaum hedonis oleh orang Islam. Sementara orang Islam dengan mengacu keberadaan di timur tengah dianggap sebagai kaum barbar oleh kelompok Kristen.

Seiring dengan pengelompokan keagamaan ini, seorang pemeluk agama akan memandang kelompok di luarnya sebagai the other (orang asing). Ketika membahas interaksi antar kelompok, Newcomb menekankan adanya sikap yang antagonisme dan permusuhan dari masing-masing pihak. Bahkan dikatakannya bahwa sikap antagonisme ini senantiasa dipertahankan melalui interaksi internal kelompok.Tidak jarang sikap antagonisme ini muncul dalam tindakan-tindakan yang berbentuk kekerasan. Penyebab utama dari interaksi yang berbentuk kekerasan ini menurutnya bersumber dari adanya prasangka kelompok.

Fanatisme agama, umumnya bersifat emosinal dibandingkan rasional. Padahal mereka semua menginginkan adanya perdamaian. Sangat absurd ketika kemudian mau mengatakan perdamaian itu bersifat internal, atau hanya dalam in group. bagaimanapun, masyarakat akan selalu bersentuhan dengan out group. kelompok di luar diri mereka. Maka, menghapus dinamika kehidupan yang semacam ini jelas akan mustahil. Yang ada hanya bantah-bantahan dan debat kusir. Kaum positivis akan mengatakan, "ah, kalian ngomong apa? berdebat untuk sesuatu yang tidak bisa dibuktikan, sampai bunuh-bunuhan segala! ngapain?"

Membangun perjumpaan

Maka, satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah membangun perjumpaan dan berani ambil jarak atas zona nyamannya sendiri. Begini, kalau ada orang yang dianggap negatif dari kelompoknya, orang akan mengatakan, "ah itu oknum!" sementara kalau ada orang dari kelompok lain yang salah, "tuh kan orang yang agamanya itu pada begitu!!!" mengapa orang tidak mau rasional dan objektif dengan memberikan penilaian yang proporsional atas suatu peristiwa?

Yang berikutnya, kalau orang mengalami perjumpaan dengan orang yang berbeda, apalagi mau bekerja sama dengan mereka, saya yakin, akan terbangun empati di dalamnya. paling tidak dia akan mengatakan, "ah... tidak semuanya begitu..." Agama memang berwajah ganda, tapi semoga dengan kacamata kemanusiaan, wajah perdamaian yang satu akan menampakkan diri!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun